Tampilkan postingan dengan label Oleh Nurfitri Hadi.. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Oleh Nurfitri Hadi.. Tampilkan semua postingan

Minggu, 25 Desember 2016

Ketika bangsa mogol memilih Islam

Ketika Bangsa Mongol Memilih Islam

Mendengar kata Mongol atau Tatar, nalar kita dengan cepat menyasar pada sifat-sifat anti peradaban. Trauma sejarah, kontak pertama dunia Islam dengan mereka adalah alasannya. Saat itu, bangsa Mongol adalah orang-orang nomad yang bengis, sadis dalam peperangan, dan penghancur peradaban. Saat Mongol memporak-porandakan dunia Islam, orang-orang menyangka, kehancuran umat Islam telah dimulai. Namun siapa sangka, musuh yang begitu keras permusuhannya, amat membenci ajaran Islam, dan menindas pemeluknya, tiba-tiba menjadi saudara.

Asal-Usul Bangsa Mongol

Orang-orang Mongol berasal dari Gurun Gobi, di ujung utara negeri Tiongkok. Mereka adalah kaum penggembala yang penyembah berhala, bintang, dan sujud pada matahari kala sang surya terbit di ufuk timur. Agama mereka adalah Samanisme. Suatu aliran kepercayaan yang mensucikan ruh-ruh nenek moyang. Dan mempersembahkan kurban kepada hewan-hewan buas.

Kata Tatar adalah sebutan untuk suku Mongol, Turk, Uygur, Seljuk, dan suku lainnya yang menghuni area Gurun Gobi. Jadi, Tatar itu lebih luas cakupanya dibanding Mongol. Namun kata Mongol juga sering digunakan untuk menyebut suku-suku di atas. Apabila ditinjau dari wilayah kekuasaan Jenghis Khan yang meliputi suku-suku tersebut.

Memeluk Islam

Mungkin orang-orang bertanya, apa yang ditinggalkan bangsa Mongol selain menghancurkan dan melakukan pembantaian? Apa yang terjadi pada mereka setelah tragedy Baghdad dan Perang Ain Jalut?

Setelah 35 tahun masuk wilayah Islam dan berinteraksi dengan kaum muslimin, orang-orang Mongol mulai tertarik dengan agama Islam. Bahkan, tidak sampai 50 tahun, mayoritas dari mereka telah memeluk agama yang mulia ini. Mongol pun terbagi menjadi Mongol muslim dan Mongol paganis (penyembah berhala). Mereka korbankan persaudaraan sesuku demi membela agama ini.

Meskipun telah menjadi muslim, ada sifat-sifat asli bangsa Mongol yang tidak hilang. Baik kepercayaan maupun karakter. Memang, Islam telah merubah mereka, tapi perubahan itu tidak terjadi menyeluruh seperti generasi awal Islam dulu. Di sisi lain, kita tidak boleh melupakan jasa-jasa mereka. Orang-orang Mongol telah memberikan sumbangsih besar dalam peradaban Islam. Bahkan apa yang mereka lakukan tidak pernah terjadi sebelumnya dan tidak terulang lagi di masa setelahnya. Wilayah-wilayah yang belum pernah diinjak oleh kaum muslimin menjadi negeri Islam. Dari ujung timur hingga perbatasan propinsi-propinsi Arab, dan batas-batas Eropa, menjadi wilayah Islam.

Pembagian Daulah Mongol

Jenghis Khan menginvasi banyak wilayah hingga kerajaannya memiliki wilayah yang sangat luas. Ia membagi-bagi wilayah kekuasaannya kepada anak-anaknya dari istri pertama. Mereka adalah:

Putra tertua, Jochi, menguasai wilayah Rusia, Khawarizm, Kaukasus, dan Bulgaria.

Chagatai menguasai wilayah-wilayah Uygur, Turkmenistan barat, dan negeri-negeri seberang sungai.

Tolui menguasai wilayah Khurasan, Persia, wilayah-wlayah Asia Kecil, dan sebagian wilayah Arab.

Ogedei menguasai wilayah Mongol, Tiongkok, Turkmenistan timur, dan wilayah-wilayah kekuasaan Jenghis Khan di sebelah timur.

Pembagian Wilayah Kekuasaan Mongol
Tersebarnya Islam di Tengah Masyarakat Tatar

Tak terbayangkan sebelumnya, tiba-tiba dakwah Islam menyebar begitu saja di tengah orang-orang Mongol. Dakwah masuk ke hati mereka tanpa tombak-tombak dan pedang-pedang. Juga tanpa perebutan kekuasaan. Begitulah kemuliaan agama ini, pun dikenal oleh musuh-musuhnya. Menyentuh hati-hati mereka. Menundukkan ruh raga yang telah mengalahkan kaum muslimin.

Ketertarikan masyarakat Mongol terhadap Islam memang terbilang unik. Karena sebelumnya mereka menyerang dan menyebar bagaikan hama belalang di suatu perkebunan. Merusak dan menghancurkan. Tiba-tiba mereka menjadi saudara dan tunduk dengan petuah para ulama.

Thomas Walker Arnold, seorang sejarawan dan orientalis asal Inggris, juga merasakan keheranannya. Dalam bukunya The Preaching of Islam, ia mengutarakan perasaan herannya pada para penakluk itu sekaligus rasa takjub dengan kesungguhan pendakwah Islam. Mereka mengalahkan tantangan besar dan melewati ujian yang sulit dalam berdakwah. Arnold takjub bagaimana bisa pendakwah Islam bisa mengalahkan pendakwah Budha dan Kristen dalam menarik hati penguasa Mongol. Padahal Islam adalah musuh Mongol. Ditambah mereka memiliki hati yang keras, yang sebelumnya tertutup tidak menerima keyakinan kecuali Samanisme.

Sebelumnya, nasib para ulama Islam adalah dibunuh atau ditawan. Jenghis Khan memerintahkan hukuman mati bagi siapa saja yang menyembelih hewan seperti kurban yang dilakukan umat Islam. Hal ini terus berlangsung hingga masa Kubilai Khan. Dan Kaisar Mongol dari Dinasti Ilkhan, Arghun Khan (1284-1291), juga melakukan penyiksaan terhadap umat Islam di negeri mereka.

Tentu, masuknya sejumlah besar bangsa Mongol ke agama Islam adalah sebuah peristiwa yang luar biasa. Wilayah mereka yang luas pun menjadi wilayah Islam.

Pelajaran

Hati manusia itu di tangan Allah ﷻ. Bisa jadi hari ini orang yang membenci, esok hari ia sangat mencintai. Dan sebaliknya, hari ini membela esok menjadi pencela. Kita memohon kepada Allah ﷻ agar senantiasa menetapkan hati kita di atas agamanya.

Sumber:
– http://islamstory.com/ar/دخول-المغول-في-الإسلام

Oleh Nurfitri Hadi (@nfhadi07)
Artikel www.KisahMuslim.com

Sabtu, 24 Desember 2016

Mereka lah orang orang yang mencintai Nabi

Merekalah Orang-Orang Yang Mencintai Nabi

Cinta Nabi. Kalimat sederhana yang begitu dalam maknanya. Dua kata yang bisa membuat orang menebusnya dengan dunia dan seisinya. Karena memang demikianlah hakikinya. Nabi Muhammad ﷺ wajib lebih dicintai dari orang tua, istri, anak, dan siapapun juga.

Namun, kecintaan kepada Nabi Muhammad ﷺ bukanlah sesuatu yang bebas ekspresi. Tetap ada aturan yang indah dan elegan. Tidak boleh berlebihan dan juga menyepelekan. Tidak boleh mengada-ada. Karena beliau begitu mulia untuk dipuja dengan sesuatu yang bukan dari ajarannya.

Allah ﷻ berfirman,

وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَالرَّسُولَ فَأُولَٰئِكَ مَعَ الَّذِينَ أَنْعَمَ اللَّهُ عَلَيْهِمْ مِنَ النَّبِيِّينَ وَالصِّدِّيقِينَ وَالشُّهَدَاءِ وَالصَّالِحِينَ ۚ وَحَسُنَ أُولَٰئِكَ رَفِيقًا

“Dan barangsiapa yang mentaati Allah dan Rasul(Nya), mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh Allah, yaitu: Nabi-nabi, para shiddiiqiin, orang-orang yang mati syahid, dan orang-orang saleh. Dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya.” (QS:An-Nisaa | Ayat: 69).

Imam al-Baghawi rahimahullah dalam tafsirnya mengatakan, “Ayat ini turun terkait dengan kisah Tsauban bin Bujdad radhiallahu ‘anhu bekas budak Rasulullah ﷺ. Ia sangat mencintai Nabi ﷺ. Suatu hari ia menemui Nabi ﷺ, rona wajahnya berbeda. Menyiratkan kekhawatiran dan rasa sedih yang bergemuruh.

Rasulullah ﷺ bertanya, ‘Apa yang membuat raut wajahmu berbeda (dari biasa)’?

‘Aku tidak sedang sakit atau kurang enak badan. Aku hanya berpikir, jika tak melihatmu, aku sangat takut berpisah denganmu. Perasaan itu tetap ada, hingga aku melihatmu. Kemudian aku teringat akhirat. Aku takut kalau aku tak berjumpa denganmu. Karena engkau di kedudukan tinggi bersama para nabi. Dan aku, seandainya masuk surga, aku berada di tingkatan yang lebih rendah darimu. Seandainya aku tidak masuk surga, maka aku takkan melihatmu selamanya’, kata Tsauban radhiallahu ‘anhu.

Kemudian Allah ﷻ menurunkan ayat ini.

Mereka Yang Mencintai Nabi

Suatu hari, Abdullah bin Zaid radhiallahu ‘anhu, sedang berkebun di perkebunannya. Kemudian anaknya datang, mengabarkan kalau Nabi ﷺ telah wafat. Ia berucap,

اللهم أذهب بصري تى لا أرى بعد حبيبي محمدًا أحدًا

“Ya Allah, hilangkanlah penglihatanku. Sehingga aku tidak melihat seorang pun setelah kekasihku, Muhammad.” Ia katupkan dua tapak tangannya ke wajah. Dan Allah ﷻ mengabulkan doanya (Syarah az-Zarqani ‘ala al-Mawahib ad-Diniyah bi al-Manhi al-Muhammadiyah, Juz: 8 Hal: 84).

Tak ada pemandangan yang lebih indah bagi para sahabat melebihi memandang wajah Rasulullah ﷺ. Abdullah bin Zaid ingin, pandangan terakhirnya adalah wajah Nabi. Saat memejamkan mata, ia tak ingin ada bayangan lain di benaknya. Ia hanya ingin muncul wajah yang mulia itu.

Bilal radhillahu ‘anhu, seorang sahabat dari Habasyah. Muadzin Rasulullah ﷺ. Cintanya pada sang Nabi terus bertumbuh hingga maut datang padanya. Sadar akan kehilangan Bilal, keluarganya bersedih dan mengatakan, “Betapa besar musibah”!

Bilal menanggapi, “Betapa bahagia! Esok aku berjumpa dengan kekasih; Muhammad dan sahabat-sahabatnya.” (Rajulun Yatazawwaju al-Mar-ata walahu Ghairuha, No: 285)

Cinta sahabat Nabi telah membuat kita malu. Cinta mereka begitu tulus. Tak jarang cinta kita hanya mengaku-ngaku.

Al-Hawari, Abdullah bin Zubair. Apabila ada yang menyebut Nabi ﷺ di sisi Abdullah bin Zubair radhiallahu ‘anhu, ia menangis tersedu, hingga matanya tak mampu lagi meneteskan rindu dan kesedihan (asy-Syifa bi Ta’rifi Huquq al-Musthafa, Hal: 402).

Demikian juga dengan sahabiyat (sahabat wanita). Cinta mereka kepada Rasululllah ﷺ tak kalah hebatnya dari sahabat laki-laki. Ada seorang wanita Anshar; ayah, suami, saudara laki-lakinya gugur di medan Perang Uhud. Bayangkan! Bagaimana perasaan seorang wanita kehilangan ayah, tempat ia mengadu. Kehilangan suami, tulang punggung keluarga dan tempat berbagi. Dan saudara laki-laki yang melindungi. Ditambah, ketiganya pergi secara bersamaan. Alangkah sedih keadaannya.

Mendengar tiga orang kerabatnya gugur, sahabiyah ini bertanya, “Apa yang terjadi dengan Rasulullah ﷺ”?

Orang-orang menjawab, “Beliau dalam keadaan baik.”

Wanita Anshar itu memuji Allah dan mengatakan, “Izinkan aku melihat beliau.” Saat melihatnya ia berucap,

كل مصيبة بعدك جلل يا رسول الله

“Semua musibah (selain yang menimpamu) adalah ringan, wahai Rasullah.” (Sirah Ibnu Hisyam, Juz: 3 Hal: 43).

Maksudnya apabila musibah itu menimpamu; kematian dll. Itulah musibah yang berat.

Amr bin al-Ash radhiallahu ‘anhu mengatakan, “Taka da seorang pun yang lebih aku cintai melebih Rasulullah. Dan tak ada seorang pun yang lebih mulia bagiku selain dirinya. Aku tidak pernah menyorotkan penuh pandanganku padanya, karena begitu menghormatinya. Sampai-sampai jika aku ditanya, tentang perawakannya, aku tak mampu menggambarkannya. Karena mataku tak pernah memandangnya dengan pandangan utuh.” (Riwayat Muslim dalam Kitab al-Iman No: 121).

Sebagaimana kita saksikan, seorang pengawal kerajaan menundukkan wajahnya ketika berbicara dengan sang raja. Karena menghormati dan memuliakan rajanya. Amr bin al-Ash lebih-lebih lagi dalam memuliakan dan mengagungkan Nabi ﷺ.

Adakah pengagungan yang lebih hebat dan lebih luar biasa. Selain pengagungan para sahabat Nabi Muhammad ﷺ terhadap beliau?

Cinta Nabi Harus Mencintai Sahabatnya

Mencintai Nabi ﷺ berkonsekuensi mencintai sahabatnya. Abdullah bin al-Mubarak mengatakan, “Ada dua jalan, siapa yang berada di atasnya, ia selamat. Ash-shidqu (jujur) dan mencintai sahabat Muhammad ﷺ.” (asy-Syifa bi Ta’rifi Huquq al-Musthafa, Hal: 413).

Ayyub as-Sikhtiyani rahimahullah (tokoh tabi’in) mengatakan, “Siapa yang mencintai Abu Bakar, ia telah menegakkan agama. Siapa yang mencintai Umar, ia telah memperjelas tujuan. Siapa yang mencintai Utsman, ia telah meminta penerangan dengan cahaya Allah. Dan siapa yang mencintai Ali, ia telah mengambil tali yang kokoh. Siapa bagus sikapnya terhadap sahabat Muhammad ﷺ, ia telah berlepas diri dari kemunafikan. Siapa yang merendahkan salah seorang dari mereka, ia adalah seorang ahli bid’ah yang menyelisihi Sunnah dan salaf ash-shaleh. Aku khawatir amalnya tidak naik ke langit (tidak diterima), hingga ia mencintai semua sahabat. Dan hatinya bersih terhadap mereka.” (ats-Tiqat oleh Ibnu Hibban No:680).

Mencintai Rasulullah ﷺ adalah kedudukan mulia. Umat Islam berlomba-lomba mencintai beliau. Kecintaan kepada beliau menguatkan hati. Gizi bagi ruh. Dan penyejuk jiwa. Mencintai beliau adalah cahaya. Tak ada kehidupan bagi hati kecuali dengan mencintai Allah dan Rasul-Nya.

Kita melihat orang-orang yang cinta nabi, mata mereka berbinar bahagia. Jiwa mereka syahdu. Hati mereka tenang. Mereka menikmati rasa cinta itu. mereka menjadi mulia di dunia dan berbahagia di akhirat. Mereka tahu bagaimana rasa yang namanya bahagia itu. Keadaan sebaliknya bagi mereka yang tidak mencintai Nabi. Mereka merasakan kegundahan. Jiwa yang hampa. Perasaan yang sakit. Dan rugi.

Dalam Zadul Ma’ad, Ibnul Qayyim rahimahullah, mengatakan, “Maksudnya adalah sekadar mana seseorang mengikuti Rasul. Setingkat itu pula kadar kemuliaan dan pertolongan. Sebatas itu pula kualitas hidayah, kemenangan, dan kesuksesan. Allah ﷻ memberi hubungan sebab-akibat, kebahagiaan di dunia dan akhirat adalah dengan mengikuti Nabi. Dia menjadikan kesengsaraan di dunia dan akhirat bagi yang menyelisihi sang Nabi. Mengikutinya adalah petunjuk, keamanan, kemenangan, kemuliaan, kecukupan, kenikmatan. Mengikutinya adalah kekuasaan, teguh di atasnya, kebaikan hidup di dunia dan akhirat. Menyelisihinya adalah kehinaan, ketakutan, kesesatan, kesengsaraan di dunia dan akhirat.”

Renungan

Setelah mengetahui bagaimana hebatnya cinta dan pengagungan para sahabat terhadap Rasulullah ﷺ, tentunya kita semakin bersemangat untuk meneladani cara mereka mencintai Nabi. Cara yang tidak berlebihan dan tidak menyepelekan. Cara mereka mencintai diridhai oleh Nabi.

Mereka menangis, tidak berani menyorotkan pandangan, bahagia dengan keselamatan beliau, dll. tapi mereka tak pernah melakukan perayaan maulid Nabi yang dianggap bukti cinta padanya. Mereka tak pernah merayakan suatu ‘amalan’ di hari kelahiran sang tauladan yang katanya adalah pengagungan.

Apakah kita yang belajar dari mereka cara mencintai Nabi ataukah sebaliknya?

Demikianlah kita anak-anak akhir zaman. Sering menyebut cinta, tapi kita tak tahu apa artinya mencintai. Akhirnya, semakin marak perayaan, umat tak kunjung juga mengkaji hadits-hadits Nabi. Lihatlah sekitar kita sebagai renungan dan bukti.

Oleh Nurfitri Hadi (@nfhadi07)
Artikel www.KisahMuslim.com