Langsung ke konten utama

Postingan

Memercayakan Anak kepada Orang Lain

Ada tren, kini ayah dan ibu bekerja dari pagi hingga sore hari, sementara itu pengasuhan anaknya diserahkan kepada orang lain. Faktor ekonomi menjadi alasan yang kuat melatari fenomena ini.  Alasan kedua adalah kecenderungan para istri yang tidak ingin tinggal di rumah dan hanya mengurus anak serta rumah tangga. Sesungguhnya hal ini sangatlah berbahaya, apalagi jika tugas pengasuhan ini diserahkan kepada pembantu atau baby sitter. Antara ayah dan ibu sebenarnya tidak ada perbedaan kadar tanggung jawab pengasuhan dan pendidikan kepada anak.  Namun, pada sisi peranannya, seorang ayah diwajibkan menafkahi keluarganya. Sementara, seorang ibu menjadi pembina rumah tangga dan pengatur anak-anak yang utama. Apabila keduanya justru disibukkan oleh aktivitas mencari nafkah, tidak pelak anak akan kehilangan masa-masa emas sentuhan ibunya pada pagi hingga sore hari. Orangtua mana  yang bisa menjamin orang yang dititipi anaknya akan memperlakukan sang anak seperti anak mereka sendiri?

Pengaruh Sanak Saudara yang Berakhlak Buruk

Para orangtua harus mendeteksi siapa saja sanak saudara yang terlanjur sudah mendapat cap berakhlak buruk. Deteksi ini juga menyangkut sanak saudara yang tinggal serumah. Boleh jadi, sanak saudara yang berakhlak buruk akan membuat error semua instalasi akhlak mulia yang sedang Anda lakukan kepada anak. Setelah orangtua dan saudara kandungnya, anak akan mencari tokoh anutan (tokoh identifikasi) lain, yaitu sanak saudara terdekat orangtuanya.  sanak saudara tersebut memberikan pengaruh buruk, patutlah kita mencegah anak-anak kita dari kontak langsung tanpa terjaga dengan mereka. Sudah banyak terjadi kasus-kasus buruk kepada anak yang melibatkan sanak saudara terdekatnya, seperti paman, bibi, atau sepupu. Deteksi dan antisipasi dini adalah lebih baik daripada menyesal jika ternyata anak Anda terpengaruh hingga berujung pada perpecahan keluarga.

Perselisihan Orangtua

Orangtua yang kerap berselisih, bahkan yang berujung pada perceraian, tidak pelak lagi sangat mengganggu perkembangan psikologis dalam hal ini akhlak anak untuk memahami perilaku orangtuanya.  Reaksi utama dari anak ketika melihat ayah atau ibunya bertengkar adalah menangis dan umumnya mendekat dan membela sang ibu. Akan tetapi, ada juga yang berlari meninggalkan keduanya. Dalam memori mereka segera terekam berbagai hal: kesedihan yang mendalam, kebencian kepada orangtua, atau ketakutan yang sangat. Instalasi akhlak mulia akan ter-cancel ketika terjadi perselisihan orangtua.  Oleh karena itu, orangtua sudah semestinya menghindarkan perselisihan, apalagi yang langsung terjadi di depan anak atau memang memperselisihkan sesuatu yang tidak perlu. Hal yang menyebabkan Islam mementingkan praktik dan adab memilih suami atau istri adalah karena untuk menghindarkan timbulnya perselisihan sengit kelak di dalam perkawinan.  Perselisihan sengit, apalagi yang berujung pada perceraian, j

Membenci Anak, Menumbuhkan Penyakit Hati

Orangtua mana yang tega membenci anaknya? Pada kenyataannya, ada saja orangtua yang seperti ini. Ada orangtua yang begitu menginginkan anak lelaki, tetapi begitu yang lahir adalah anak perempuan, tumbuh rasa kecewa yang berbuah kebencian.  Ada seorang bapak yang membenci anaknya karena ketika sang anak dilahirkan, ibunya wafat. Ada orangtua yang kurang menyukai anaknya karena terlahir cacat dan cenderung menyusahkan.  Na'udzubillah min dzalik! Anak-anak yang dibesarkan dengan kebencian ini adalah cikal bakal generasi yang berpenyakit hati. Sebagian besar dari mereka menyesal dilahirkan karena sebagian besar dari orangtua menyesalkan kelahiran mereka.  Tentu hal ini merupakan keprihatinan kita bersama Lebih celaka lagi jika kebencian orangtua ini terucap dalam doa keburukan untuk anaknya. Sangat mungkin doa tersebut terkabul dan anak benar-benar mendapatkan keburukan atau kecelakaan.  Sangat populer dalam budaya kita cerita anak durhaka si Malin Kundang. Doa (kutukan) ib

Kemanjaan Berlebihan, Sumber Penyakit Hati

Kasih sayang berbeda pengertian dengan kemanjaan. Kasih sayang yang meluap atau berlebihan menurut saya tidak identik dengan kemanjaan. Kemanjaan adalah kasih sayang yang menyimpang sehingga akhirnya menumbuhkan penyakit hati. Kemanjaan ini bisa dalam bentuk memberikan kelonggaran dan kelapangan yang tidak semestinya kepada anak-anak dengan alasan sayang. Anak yang manja akan merasa dirinya disanjung sedemikian rupa, dia tidak pernah merasa bersalah, merasa superior, dan merasa harus dituruti. Berbagai penyakit hati akan tumbuh dari sifat kemanjaan ini, seperti kebergantungan yang tinggi terhadap orang lain, kesombongan, egois, dan juga ketidakpercayaan diri.  Oleh karena itu, hendaknya orangtua tidak menjerumuskan anak dengan kemanjaan dengan dalih sangat menyayanginya. Misalnya, tidak menghukum anak ketika berbuat salah, membenarkan anak dan menyalahkan orang lain, meng-ikuti kemauan anak untuk membuang waktu, atau mengikuti hasrat anak tanpa batas karena memiliki uang ya

Tingkah laku Tidak Seindah Namanya

Apa alasan kita memberi nama anak dengan nama-nama indah, seperti nama para nabi, sama dengan nama Nabi Muhammad saw, nama para sahabat dan sahabat dan nama orang orang saleh? Tentu karena kita ingan anak anak kita memiliki akhlak, kemasyhuran, dan kebesaran. seperti orang orang saleh tadi. Namun, mengapa terkadang nama yang indah itu tak seindah perilaku aslinya? Pemberian nama bagi kaum Muslim dipahami juga sebagai pemberian doa untuk anak tersebut. Bahkan, Rasulullah saw menekankan bahwa mendapatkan nama yang baik adalah hak anak. Oleh karena itu, nama yang baik adalah salah satu hadiah terindah dari orangtua untuk anaknya.Namun, nama yang mengandung ungkapan baik juga tidak selamanya baik. Dalam berbagai riwayat, Rasulullah saw pernah mengganti nama-nama para sahabat dan sahabiyat karena mengandung konotasi buruk. Selain itu, ada juga yang diganti karena membuka peluang munculnya akhlak buruk. Dalam sebuah riwayat yang dikisahkan Abu Rafi' , Zainab, pur Ummu Salamah

Menganggap Biasa Akhlak yang Buruk

Fenomena lain yang juga termasuk kesalahan berpikir para orangtua dan faktor pemicu kegagalan menanamkan akhlak mulia adalah menganggap biasa akhlak yang buruk.  Seorang anak yang suka memukul anak lain kerapkali menjadi canda orangtuanya bahwa anaknya seorang jagoan. Hal ini mungkin sama dengan orangtua yang menganggap anak gemuk sebagai anak yang sehat, padahal itu adalah gejala obesitas yang bisa membahayakan kesehatannya. Akhlak yang buruk, seperti berbohong, mencuri, berkata kotor, atau minder dianggap biasa oleh orangtua karena menganggap anak itu belum bisa membedakan yang baik dan yang buruk. Jika orangtua tanggap dan coba memperbaiki, tentu tidak akan menjadi masalah. Hal yang menjadi masalah adalah, jika orangtua hanya membiarkan dan tidak menganggapnya sebagai masalah serius kelak. Ingatlah pepatah, “sedikit demi sedikit, lama-lama menjadi bukit". Begitupun akhlak buruk, walaupun tampak kecil dan sepele, lama-lama akan menjadi kebiasaan sehingga akhirnya mem