Langsung ke konten utama

Postingan

Kewajiban mendirikan sholat

*Kewajiban Mendirikan Shalat dan Menfokuskan Hati Kepada Allah SWT Ketika Beribadah*    Seorang yang hendak menempuh jalan menuju Allah SWT, hendaknya ia senantiasa memperhatikan baik-baik pelaksanaan shalat lima waktu dengan menyempurnakan berdirinya, bacaannya, khusyuknya, rukuknya, sujudnya, segala rukun-rukun dan sunnah-sunnahnya.    Hendaknya ia selalu menghadirkan perasaan keagungan Allah SWT sebelum ia melakukan shalat, karena sebentar lagi ia akan menghadap kepada Allah SWT Yang Maha Agung. Janganlah engkau bermunajat kepada Allah SWT dengan hati yang tidak tertuju kepada-Nya, sehingga hatimu melayang ke berbagai masalah, khususnya masalah duniawi sehingga engkau wajib mendapat murka Allah SWT dan diusir dari hadirat-Nya.    Dalam hal ini, Baginda Nabi Muhammad SAW bersabda: *إِذَاقَامَ الْعَبْدُ إِلَي الصَّلَاۃِ أَقْبَلَ اللهُ عَلَيْهِ بِوَ جْهِهِ، فَإِ ذَا الْتَفَتَ إِلَي وَرَ ائِهِ يَقُوْلُ اللهُ تَعَالَي، اِبْنُ اۤدَمُ الْتَفَتَ إِلَي مَنْ هُوَ خَيْرٌ لَهُ مِنِّي، فَإِن

Tentang Dzikir

*Anugerah Dzikir Untukmu *   "Allah menganugerahkanmu 3 kemuliaan : 1. Dia membuatmu ingat kepada-Nya, jika bukan karena karunia-Nya, maka engkau tak layak atas melimpahnya dzikir kepada-Nya dalam diri. 2. Dia membuatmu diingat oleh-Nya, karena Dia menguatkan hubungan-Nya denganmu. 3. Dia membuatmu diingat di sisi-Nya, maka Allah menyempurnakan nikmat-Nya kepadamu."   Sungguh, dzikir merupakan anugerah Allah SWT yang luar biasa. Allah memberi kesempatan kita untuk berdzikir adalah nikmat yang harus kita syukuri. Allah SWT berfirman, "Dialah yang memberimu rahmat dan karunia, sebagaimana kepada para Malaikat."   Biasanya, kita memulai perjalanan batin dengan menanyakan sebab eksistensi ini, dan mengakhirinya dengan mengingat dan menyadari Sumber dari semua eksistensi. Karunia berikutnya, Dia menempatkan kita dalam posisi penghambaan sehingga kita mengakui ketuhanan-Nya. Dan, karunia terbesar adalah Dia memilih kita berada dalam nur-Nya. Syekh Ibnu Athi'il

Bulan Sya'ban

Amalan Puasa Dibulan Sya'ban عن عائشة رضي الله عنها قالت: لَمْ يَكُنِ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – يَصُومُ شَهْرًا أَكْثَرَ مِنْ شَعْبَانَ ، فَإِنَّهُ كَانَ يَصُومُ شَعْبَانَ كُلَّهُ Dari Aisyah rodhiAllahu anha berkata: “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak biasa berpuasa pada satu bulan yang lebih banyak dari bulan Sya’ban. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa berpuasa pada bulan Sya’ban seluruhnya.” (HR. Bukhari no. 1970 dan Muslim no. 1156) Pelajaran yang terdapat di dalam hadist: 1. Bulan Sya’ban adalah bulan tempat manusia lalai. Karena mereka sudah terhanyut dengan istimewanya bulan Rajab (yang termasuk bulan Harom) dan juga menanti bulan sesudahnya yaitu bulan Ramadhan. Tatkalah manusia lalai, inilah keutamaan melakukan amalan puasa ketika itu. Sebagaimana seseorang yang berdzikir di tempat orang-orang yang begitu lalai dari mengingat Allah -seperti ketika di pasar-, maka dzikir ketika itu adalah amalan yang sangat istimewa. Abu Sholeh mengatakan, “Sesung

*Yakinlah Kepada Allah Maka Segala Urusanmu Selesai*

  Syekh Ibnu Atha’illah mengirim surat kepada sahabatnya :   “Barangsiapa yang yakin bahwa Allah menyuruhnya melakukan ibadah, pasti ia bersungguh-sungguh menghadap-Nya. Barang siapa mengetahui bahwa segala urusan itu berada di tangan Allah, pasti bertekad kuat untuk tawakal kepada-Nya.”   Syekh Abdullah Asy-Syarqawi menjelaskan : “Siapa yang yakin bahwa Allah SWT menuntunnya untuk melayani-Nya dan melaksanakan tugas-tugas ‘ubudiyyah, pasti ia akan menghadap Allah dengan tulus dan berusaha melaksanakan apa saja yang diridhoi-Nya dengan sempurna.   Hal tersebut dikarenakan buah amalnya itu akan kembali kepada dirinya sendiri, bukan kepada Tuhannya. Jika ia berakal dan bermakrifat, maka apakah layak jika ia tak tulus dan tidak sungguh-sungguh dalam beramal dan meninggakan masalah pribadinya ? Syekh Ibnu Atha’illah _dalam kitab Al-Hikam, dengan syarah oleh_ Syekh Abdullah Asy-Syarqawi

Sifat Salafuna Shalihin*

Adalah nafsunya yang menggebu kepada ilmu, melebihi nafsunya kepada apapun dalam hidupnya. Sebagaimana Al-Imam Al-Habib Abdullah bin Umar Bin-Yahya yang meninggalkan kenikmatan zafaf (malam pertama) bersama istrinya hanya karena keasyikan membaca sebuah kitab.   Menjelang malam zafafnya, guru sekaligus paman beliau dari garis ibu, Al-Allamah Al-Habib Abdullah bin Husein bin Thahir Ba'alawi berkata, "Aku akan melakukan sesuatu kepada Abdullah yang membuatnya lupa kepada istrinya sampai pagi." Habib Abdullah bin Husein tahu persis kecintaan keponakannya tersebut pada ilmu, terutama kepada kitab-kitab asing yang baru dilihatnya.   Pamannya lalu meletakan sebuah kitab asing di tempat yang akan dilalui Habib Abdullah bin Umar. Ketika Habib Abdullah bin Umar melihat kitab tersebut, beliau lalu mengambilnya, membukanya, membacanya lalu terus mempelajarinya sampai pagi, hingga ia lupa bahwa malam itu adalah malam zafafnya bersama istrinya. _Kitab Minhajussawi Syarah Ushul Thar

Shalat Khusyuk Menurut Imam Al-Ghazali

Imam Al-Ghazali dalam Kitab Ihya Ulumuddin, bab Asrarus-Shalah wa Muhimmatuha menyebutkan 6 perkara untuk menghadirkan sikap khusyuk ketika mendirikan shalat, di antaranya : 1. Hudhur al-Qalbi, yaitu menghadirkan hati kita ketika menunaikan shalat. Hati kita harus kosong dari segala sesuatu selain yang tidak ada hubungannya dengan shalat yang kita kerjakan atau kita ucapkan. Kita harus merasakan kehadiran Allah dalam diri. Merasakan kedekatan dan kebersamaan dengan Allah. 2. At-Tafahhum (pemahaman mendalam), yaitu pemahaman mendalam atas apa yang sedang kita ucapkan. Kita berusaha memahami segala perkara dalam shalat dan bacaan shalat yang sedang didirikan. Menghayati makna dan gerakan shalat dengan penghayatan lahir dan batin. 3. At-Ta’zhim, yaitu pengagungan dan penghormatan. Kita mengagungkan kebesaran Allah, melakukan penghormatan kepada-Nya. Kita merasakan kebesaran Allah dengan merasa bahwa diri kita kecil, hina, lemah, dan tak berdaya di hadapan Allah. 4. Haibah, yaitu mera

Mutiara Hikmah Hujjatul islam🌿

Melalui kata-kata dalamnya luka bisa disembuhkan seketika, Dengan kata-kata tangisan tumpah, Gelak tawa bisa pecah. Melalui kata-kata para raja dihormati, para alim dituruti para hamba bersuara iba meminta. Tersalah kata bisa mendatangkan bencana, dendam, pertikaian, peperangan, karna kata-kata yang tidak semestinya diucapkan. Maka Rasulullah SAW sudah menasehati kita agar menjaga lidah dengan baik, minimal dengan jalan tidak banyak berbicara, selagi tidak bermanfaat atau tidak mengandung kebaikan. Apalagi sampai mengadu domba antara sesama muslim dengan perkataan dusta,fitnah,dan lain-lain. (Kitab Afatul lisan:Hujjatul Islam Imam Al-ghazali)