Langsung ke konten utama

Takutnya Para Sahabat akan Nifaq

ONE DAY ONE HADIST
Selasa, 28 Agustus 2018 / 16 Dhulhijah 1439

Takutnya Para Sahabat akan Nifaq

عن أبي رِبعِي حنظلة بنِ الربيعِ الأُسَيِّدِيِّ الكاتب أحدِ كتّاب رَسُول الله صلى الله عليه وسلم، قَالَ: لَقِيَنِي أَبُو بَكر رضي الله عنه فَقَالَ: كَيْفَ أنْتَ يَا حنْظَلَةُ؟ قُلْتُ: نَافَقَ حَنْظَلَةُ! قَالَ: سُبْحَانَ الله مَا تَقُولُ؟! قُلْتُ: نَكُونُ عِنْدَ رَسُول الله صلى الله عليه وسلم يُذَكِّرُنَا بالجَنَّةِ وَالنَّارِ كأنَّا رَأيَ عَيْنٍ فإِذَا خَرَجْنَا مِنْ عِنْدِ رَسُول الله صلى الله عليه وسلم عَافَسْنَا الأَزْواجَ وَالأَوْلاَدَ وَالضَّيْعَاتِ نَسينَا كَثِيرًا، قَالَ أَبُو بكر رضي الله عنه: فَوَالله إنَّا لَنَلْقَى مِثْلَ هَذَا، فانْطَلَقْتُ أَنَا وأبُو بَكْر حَتَّى دَخَلْنَا عَلَى رَسُول الله صلى الله عليه وسلم. فقُلْتُ: نَافَقَ حَنْظَلَةُ يَا رَسُول اللهِ! فَقَالَ رَسُول الله صلى الله عليه وسلم: ((وَمَا ذَاكَ؟)) قُلْتُ: يَا رَسُول اللهِ، نَكُونُ عِنْدَكَ تُذَكِّرُنَا بِالنَّارِ والجَنَّةِ كأنَّا رَأيَ العَيْن فإِذَا خَرَجْنَا مِنْ عِنْدِكَ عَافَسْنَا الأَزْواجَ وَالأَوْلاَدَ وَالضَّيْعَاتِ نَسينَا كَثِيرًا. فَقَالَ رَسُول الله صلى الله عليه وسلم: ((وَالَّذِي نَفْسي بِيَدِهِ، لَوْ تَدُومُونَ عَلَى مَا تَكُونونَ عِنْدِي، وَفي الذِّكْر، لصَافَحَتْكُمُ الملائِكَةُ عَلَى فُرُشِكُمْ وَفي طُرُقِكُمْ، وَلَكِنْ يَا حَنْظَلَةُ سَاعَةً وسَاعَةً)) ثَلاَثَ مَرَات. رواه مسلم.

Dari Abu Rib'i yaitu Hanzhalah bin Arrabi' al-Usayyidi al-Katib, salah seorang diantara jurutulisnya Rasulullah s.a.w..katanya: "Abu Bakar bertemu denganku, lalu ia berkata: Bagaimanakah keadaanmu hai Hanzhalah." Saya menjawab: "Hanzhalah takut pada dirinya sendiri kalau sampai menjadi seorang munafik." Abu Bakar berkata lagi: "Subhanallah - sebagai tanda keheranan, apakah yang kau ucapkan itu?" Saya menjawab: "Semula kita berada di sisi Rasulullah s.a.w. Beliau mengingat-ingatkan kepada kita perihal syurga dan neraka, seolah-olah keduanya itu benar-benar dapat dilihat-tampak di mata. Tetapi setelah kita keluar dari sisi Rasulullah s.a.w., kita masih juga bermain-main dengan isteri-isteri, anak-anak dan mengurus berbagai harta - untuk kehidupan kita di dunia ini, sehingga dengan demikian, banyak yang kita lupakan - tentang hal syurga dan neraka tadi." Abu Bakar lalu berkata: "Demi Allah, sesungguhnya kami sendiripun pernah mengalami seperti yang kau alami itu." Selanjutnya saya dan Abu Bakar berangkat bersama sampai masuk ke tempat Rasulullah s.a.w. lalu saya berkata: "Hanzhalah takut pada dirinya sendiri kalau sampai menjadi seorang munafik, ya Rasulullah." Rasulullah s.a.w. lalu bertanya: "Mengapa demikian?" Saya menjawab: "Ya Rasulullah kita semula ada di sisi Tuan dan Tuan mengingat-ingatkan kepada kita perihal neraka dan syurga seolah-olah keduanya itu dapat dilihat oleh mata. Tetapi setelah kita keluar dari sisi Tuan, kitapun masih juga bermain-main dengan isteri-isteri, anak-anak serta mengurus pula berbagai harta, sehingga karena itu, banyak yang kita lupakan tentang keduanya tadi." Setelah itu Rasulullah s.a.w. bersabda: "Demi Zat yang jiwaku ada didalam genggaman kekuasaanNya, jikalau engkau semua tetap sebagaimana hal keadaanmu di sisiku dan juga senantiasa berzikir - ingat kepada Allah, niscayalah malaikat-malaikat itu menjabat tanganmu semua, baik ketika engkau ada di hamparanmu - sedang tidur, juga ketika ada di jalananmu - sedang berjalan-jalan. Tetapi, hai Hanzhalah, sesaat dan sesaat - maksudnya sesaat untuk melakukan peribadatan kepada Allah dan sesaat lagi untuk mengurus segala sesuatu yang diperlukan oleh manusia dalam kehidupannya, mencari sandang pangan dan lain-lain." Ini disabdakan beliau s.a.w. tiga kali. (Riwayat Muslim)

Pelajaran yang terdapat di dalam hadist

1- Para sahabat -radhiyallaahu ‘anhum- termasuk orang-orang yang kuat imannya namun mereka paling takut terhadap timbulnya nifaq. Al-Imam Al-Bukhaariy berkata, Ibnu Abi Mulaikah berkata, “Aku menjumpai 30 sahabat Nabi Shallallaahu ‘alaihi wasallam, semuanya takut akan nifaaq atas diri mereka. Tiada seorangpun dari mereka mengatakan, “Sesungguhnya ia berada pada iman Jibril dan Mika’il,” dan disebutkan dari Al-Hasan, “Tidaklah takut kepada nifaq melainkan ia seorang mu’min dan tidaklah ia merasa aman darinya melainkan ia seorang munaafiq.”
2- Tamaknya para sahabat -radhiyallaahu ‘anhum- atas perkara-perkara yang dapat meningkatkan keimanan mereka dari segala hal yang dapat menguranginya pada perkataan-perkataan dan perbuatan-perbuatan. Dan yang demikian telah dibuktikan pada pengaduan Hanzhalah atas apa yang ia duga menjadi sebab-sebab berkurangnya iman dan timbulnya sifat nifaq, dan kesepakatan Abu Bakr yang ia pun mengadukannya pula. Kemudian keduanya pun bertanya kepada Nabi Shallallaahu ‘alaihi wasallam mengenai masalah tersebut dengan mengajukan bukti-bukti atas apa yang keduanya permasalahkan.
3- Sabda Nabi Shallallaahu ‘alaihi wasallam, “Apa yang kau maksud?” setelah perkataan sahabat, “Munafik-lah Hanzhalah!” menunjukkan pentingnya penundaan (dari prasangka) dan tatsabut (yaitu memastikan segala sesuatunya), dan sebagai persiapan penanya untuk menerima syarah (penjelasan) dari apa yang ia persoalkan.
4- Sabda Nabi Shallallaahu ‘alaihi wasallam, “sedikit demi sedikit dari waktu ke waktu,” sebanyak tiga kali, adalah penekanan atas kekhusyu’an berdzikir dan rutinnya seseorang melakukan yang demikian walau hanya sedikit. Karena amalan yang dicintai Allah Ta’ala adalah amalan yang rutin dan berkesinambungan walau sedikit. Dalam riwayat dari ‘Aaisyah -radhiyallaahu ‘anha-, Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda :

يَا أَيُّهَا النَّاسُ خُذُوا مِنْ الْأَعْمَالِ مَا تُطِيقُونَ فَإِنَّ اللَّهَ لَا يَمَلُّ حَتَّى تَمَلُّوا وَإِنَّ أَحَبَّ الْأَعْمَالِ إِلَى اللَّهِ مَا دَامَ وَإِنْ قَلَّ

“Wahai sekalian manusia, beramallah sesuai dengan kesanggupan kalian karena sesungguhnya Allah tidak akan bosan hingga kalian sendiri yang merasa bosan, dan sesungguhnya amalan-amalan yang paling dicintai Allah adalah amalan yang rutin dilakukan walaupun sedikit.”
[Shahiih Al-Bukhaariy no. 5862]
5- Didalam kisah terkandung pelajaran bahwa bukanlah termasuk sifat nifaq dan bukanlah pertanda kurangnya iman seseorang, bila seorang mu’min mengenakan dua perkara dalam hidupnya, perkara akhirat dan perkara dunia. Termasuk perkara akhirat adalah hidup zuhud, berdzikir dan merenungkan surga dan neraka, kemudian perkara dunia adalah berbaur dengan keluarganya, dengan harta-hartanya, dan tidaklah melazimi hal-hal yang demikian dari suatu kejadian yang terdapat kelalaian dan kealpaan.
6- Sesungguhnya tidaklah seorang mu’min itu terus menerus melazimi perkara zuhud dan khusyu’ ketika berbaurnya ia dengan keluarga dan hartanya, dimana Hanzhalah berkata, “Akan tetapi ketika kami beranjak dari sisimu, kami kembali tersibukkan dengan istri-istri dan anak-anak kami, kami kembali melakukan perbuatan-perbuatan yang sia-sia dan kami banyak lalai,” dan Nabi Shallallaahu ‘alaihi wasallam tidak membantahnya.
7- Bahwasanya seorang muslim dituntut untuk menunaikan hak-hak yang wajib ditunaikan bagi dirinya dari harta yang ia dapatkan dengan menginfakkan untuk dirinya dan orang-orang yang tertimpa kesusahan, dan agar ia memelihara hubungan dengan istri dan anak-anaknya, dengan kawan-kawan dan juga terhadap para tamunya, dan janganlah menghadirkan perkara yang demikian dengan kebersinambungan ibadah-ibadah sunnah sehingga menjadi alasan terputusnya kebersinambungan tersebut karena tersibukkan dengan perkara-perkara dunia.
8- Bolehnya seorang muslim meninggalkan dzikir, perenungan surga dan neraka pada sebagian waktunya karena ia tersibukkan dengan perkara dunia yang mana ia mencari nafkah untuk menghidupi diri dan keluarganya. Namun hal ini tidak berlaku pada ibadah-ibadah fardhu yang telah dibebankan dan diwajibkan atas diri setiap muslim yang telah mukallaf baik ia tersibukkan dengan perkara dunia atau tidak.
9-  Dianjurkannya seorang muslim untuk berkonsultasi ataupun bertanya kepada ahli ilmu dan ulama jika ada permasalahan yang menimpa dirinya yang mana ia tidak bisa mencari sendiri jalan keluarnya. Dibuktikan ketika Hanzhalah menghakimi atas dirinya bahwa menurutnya ia telah menjadi seorang munafik karena banyak lalai yang kemudian disepakati oleh Abu Bakr Ash-Shiddiiq, namun kemudian keduanya pergi untuk menanyakan kepada Nabi Shallallaahu ‘alaihi wasallam serta mencari penyelesaiannya

Tema hadist yang berkaitan dengan Al-Quran

1- Hal ini juga sebagai bentuk pelaksanaan dari Al-Qur’an untuk mengembalikan setiap permasalahan kepada Allah dan RasulNya. Allah Subhanahu wa Ta’ala

فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلا

“Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Qur’an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” [QS An-Nisaa’ : 59]

2- Diantara sifat-sifat yang dapat meningkatkan keimanan pada diri seorang mu’min adalah rasa takut akan timbulnya sifat nifaq, Al-Muraqabah (senantiasa merasa diawasi Allah), rutin berdzikir dengan dzikir yang disyari’atkan oleh Allah dan RasulNya, merenungi dan meresapi perkara-perkara akhirat, juga sikap zuhud. Sementara seorang mu’min pun tidak boleh lalai akan perkara-perkara dunia yang mana ia pun memiliki tanggung jawab terhadap istri dan anak-anaknya, maupun dengan kawan-kawan sejawatnya. Maka senantiasa dalam diri seorang mu’min terdapat sikap wasath (pertengahan) dalam melaksanakan kedua perkara ini. Ia tidak ghuluw dalam zuhud dan perkara akhirat, sementara ia pun tidak juga ghuluw dalam perkara dunia yang dapat menimbulkan sifat nifaq dan kefasikan.

قُلْ إِنْ كَانَ آبَاؤُكُمْ وَأَبْنَاؤُكُمْ وَإِخْوَانُكُمْ وَأَزْوَاجُكُمْ وَعَشِيرَتُكُمْ وَأَمْوَالٌ اقْتَرَفْتُمُوهَا وَتِجَارَةٌ تَخْشَوْنَ كَسَادَهَا وَمَسَاكِنُ تَرْضَوْنَهَا أَحَبَّ إِلَيْكُمْ مِنَ اللَّهِ وَرَسُولِهِ وَجِهَادٍ فِي سَبِيلِهِ فَتَرَبَّصُوا حَتَّى يَأْتِيَ اللَّهُ بِأَمْرِهِ وَاللَّهُ لا يَهْدِي الْقَوْمَ الْفَاسِقِينَ

Katakanlah, “Jika bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara, istri-istri, kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya, dan rumah-rumah tempat tinggal yang kamu sukai, adalah lebih kamu cintai daripada Allah dan Rasul-Nya dan (dari) berjihad di jalanNya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusanNya.” Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang fasiq.” [QS At-Taubah : 24].

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sunnah Harian

Bentuk-bentuk Dakwah

Bentuk-bentuk dakwah dapat digolongkan menjadi tiga macam, yaitu: 1.       Dakwah bi al-lisan , artinya penyampaian pesan dakwah melalui lisan berupa ceramah, khutbah, pidato, nasihat atau komunikasi antara da’i dan mad’u . Dalam menyampaikan pesan dakwah, da’i harus berbicara dengan gaya bahasa yang berkesan, menyentuh dan komunikatif. Bahasa lisan yang harus digunakan dalam berdakwah yaitu perkataan yang jujur, solutif terhadap permasalahan yang dihadapi mad’u, menyentuh kalbu, santun, menyejukan dan tidak provokatif serta tidak mengandung fitnah. 2.       Dakwah bi al-Qalam ialah suatu kegiatan menyampaikan pesan dakwah melalui tulisan, seperti kitab-kitab, buku, majalah, jurnal, artikel, internet, spanduk, dan lain-lain. Karena dimaksudkan sebagai pesan dakwah, maka tulisan-tulisan tersebut tentu berisi ajakan atau seruan mengenai amar ma’ruf dan nahi munkar. Dakwah bi al-Qalam itu memiliki banyak keunikan dan kelebihan, yakni suatu tulisan tidak dibatasi ruang dan wa

maf’ul bih terbagi menjadi dua

Perlu diketahui bahwa maf’ul bih terbagi menjadi dua 1. Sharih Maf’ul bih yang Sharih terbagi juga menjadi dua : a.) Isim Zhahir. Contoh : a. قتل قردا جميلا (Dia membunuh seekor monyet yang bagus) قتل قردا جميلا فعل الماضى مفعول به : منصوب بالفتحة منعوت نعت Maf’ul bih diatas berupa isim mufrod, ‘alamat nashabnya adalah fathah. b. ستلقي اباها غدا(Besok dia akan bertemu dengan ayahnya) ستلقي اباها غدا فعل المضارع مفعول به : منصوب بالألف لأسماء الخمسة ظرف الزمان Contoh Maf’ul bih diatas berupa Asmaul Khomsah (اسماء الخمسة ), dan ‘alamat nashabnya berupa alif c. أ رأيت درّاجاتٍ في قريب البيت؟ sepeda-sepeda didekat rumah itu) (Apakah dirimu melihat أ ...رأي..... ..ت السياراتِ حرف الإستفهام فعل الماضي فاعل مفعول به : منصوب بالكسرة Maf’ul bih diatas berupa jamak muanats salim, dan ‘alamat nashabnya berupa kasroh. b.) Isim Dhamir Dhamir terbagi menjadi dua : 1.) Dhamir Muttashil. Jumlahnya ada dua belas. Contoh : § ضربني : dia telah memukulku § ضربنا : dia