Kita sering mendengar seruan: “Perbanyaklah shalawat di bulan Maulid, karena ini bulan kelahiran Rasulullah Saw.” Pertanyaannya, apakah shalawat itu sekadar ritual pengisi bulan kelahiran Nabi? Ataukah ia memang bagian dari kewajiban cinta, yang ironisnya hanya kita ingat saat ada peringatan Maulid dengan rebana dan dekorasi warna-warni? Kalau benar cinta kepada Nabi cuma diperingati setahun sekali, bukankah itu lebih mirip hari ulang tahun artis ketimbang ibadah?
Imam al-Ghazali menulis dalam Ihya’ Ulumiddin, shalawat itu adalah doa yang kembali pada pelantunnya. Kita bershalawat bukan untuk memberi manfaat kepada Nabi, beliau sudah dimuliakan oleh Allah, tetapi agar kita sendiri mendapat limpahan rahmat. Artinya, shalawat tanpa perbaikan akhlak hanyalah doa yang kita sendiri khianati. Apa gunanya doa minta hujan, kalau tangan kita menutup langit dengan payung kesombongan?
Maka bulan Maulid ini seharusnya menjadi momen menghidupkan shalawat sebagai budaya hidup, bukan sekadar festival tahunan. Shalawat bukan hanya wirid lisan, tapi juga disiplin akhlak. Nabi Saw bersabda: “Orang yang paling dekat denganku di hari kiamat adalah yang paling banyak bershalawat kepadaku” (HR. Tirmidzi). Dekat dengan Nabi bukan di mimbar, bukan di majelis Maulid, tapi di akhirat. Maka ironis kalau kita ingin dekat dengan beliau di akhirat, tapi sehari-hari kita menjauh dari akhlaknya.
Jadi, mari perbanyak shalawat di bulan Maulid ini. Bukan karena sekadar seremonial, bukan karena tren, tapi sebagai latihan untuk menghidupkan cinta itu setiap hari. Karena kalau shalawatmu hanya ramai di bulan Rabi‘ul Awal, lalu sepi di bulan-bulan lain, maka cinta yang kau kumandangkan hanyalah pesta musiman. Dan Nabi Saw tidak pernah mendidik umatnya untuk jadi pencinta musiman.
Komentar
Posting Komentar