Sabtu, 21 April 2018

Pengertian Pesan Dakwah



Pesan ialah apa yang dikomunikasikan oleh sumber kepada penerima. Dan pesan disini merupakan seperangkat simbol verbal dan nonverbal yang mewakili perasaan, nilai, dan gagasan. Pesan itu sendiri memiliki tiga komponen yaitu makna simbol yang digunakan untuk menyampaikan makna dan bentuk, atau organisasi pesan.[1]
Pesan dakwah adalah Islam atau syariat sebagaimana kebenaran hakiki yang datang dari Allah melalui malaikat Jibril kepada para nabi-Nya dan yang terkhir kepada Nabi Muhammad SAW[2]. Pesan dakwah ini diungkapkan dalam Alquran melalui beragam term antara lain sabili rabbika  seperti yang disebutkan dalam Alquran Surah An-Nahl ayat 125, sebagai berikut:
Artinya: Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang  baik. Sesungguhnya tuhanmu dialah yang lebih mengatahui orang-orang yang mendapatkan petunjuk. ( Q.S. An-Nahl: 125)[3]

Pesan dakwah yang berhubungan dengan masalah syariah atau sering disebut dengan hukum Islam. Syariah ini sangat luas dan mengikat seluruh umat Islam. Syariat merupakan jantung yang tak bisa dipisahkan dari kehidupan umat Islam diberbagai penjuru dunia, dan sekaligus merupakan hal yang patut dibanggakan. Kelebihan dari syariah Islam antara lain, adalah bahwa ia tidak dimiliki oleh umat-umat yang lain. Syariah ini bersifat universal, yang menjelaskan hak-hak umat muslim dan nonmuslim, bahkan hak seluruh umat manusia. Dengan adanya materi syariah ini, maka tatanan sistem dunia akan teratur dan sempurna.[4]
Pesan dakwah yang berhubungan dengan masalah syariah terbagi menjadi dua, yakni ibadah dan mu’amalah. Ibadah adalah menyembah Allah Swt dengan tidak mempersekutukan-Nya yang diwujudkan dalam dua bentuk, yaitu: (1) ibadah mahdlah, yaitu ibadah yang langsung kepada Allah swt, seperti ibadah sholat, ibadah haji, ibadah puasa, dan lain sebagainya yang telah ditentukan aturannya dalam disiplin ilmu fiqih; dan (2) ibadah ghaira mahdlah, yaitu ibadah yang tidak langsung kepada Allah swt, yakni terkait dengan makhluk Allah, seperti santunan kepada kaum dhu’afa, gotong-royong membangun jembatan, menjaga keamanan, pendidikan  dan lain sebagainya.[5] Mu’amalah adalah interaksi dan komunikasi antar sesama manusia dengan manusia lain sebagai makhluk sosial dalam kerangka hablu min al-nas hubungan baik antar sesama manusia.[6] Masalah mu’amalah meliputi: hukum berniaga, hukum nikah, hukum waris, hukum pidana, hukum Negara, hukum perang dan damai.[7]
Masalah akhlak
Akhlak adalah budi pekerti, adat kebiasaan, perangai, muru’ah atau thariqah atau sesuatu yang sudah menjadi tabiat. Sedangkan menurut istilah, Ibnu Miskawih mengatakan akhlak adalah sifat yang tertanam dalam jiwa yang mendorong untuk melakukan perbuatan tanpa memerlukan pertimbangan.[8]
Pesan dakwah mengenai masalah akhlak meliputi akhlak kepada Allah Swt, akhlak terhadap manusia, diri sendiri, tetangga, masyarakat, akhlak terhadap bukan manusia, flora dan fauna, dan sebagainya.[9] Artinya akhlak bukan hanya terhadap Allah Swt saja, namun juga terhadap apa-apa yang telah diciptakaannya, termasuk diri sendiri.
Ajaran akhlak dalam Islam pada dasarnya meliputi kualitas perbuatan manusia yang merupakan ekspresi dan kondisi kejiwaannya. Akhlak dalam Islam bukan norma ideal yang tidak dapat diimplementasikan, dan bukan pula sekupulan etika yang terlepas dari kebaikan norma sejati. Dengan demikian, yang menjadi materi akhlak dalam Islam adalah mengenai sifat dan kriteria perbuatan manusia serta berbagai kewajiban yang harus dipenuhinya. Karena semua manusia harus mempertanggungjawabkan setiap perbuatannya, maka Islam mengajarkan perbuatan dan kewajiban yang mendatangkan kebahagiaan, bukan siksaan. Bertolak dari prinsip perbuatan manusia ini, maka materi akhlak membahas tentang norma luhur yang harus menjadi jiwa dari perbuatan manusia, serta tentang etika atau tata cara yang harus dipraktikkan dalam perbuatan manusia sesuai dengan jenis sasarannya.[10]
Menurut ajaran islam berdasarkan praktik Raulullah, pendidikan ahlakul karimah adalah faktor penting dalam membina suatu ummat atau membangun sesuatu bangsa. Oleh karena itu program utama dan perjuangan pokok dari segala usaha, ialah membina ahlakmulia. Ia harus ditanamakan kepada seluruh lapisan dan tingkatan masyarakat, mulai dari tingkat atas sampai tingkat bawah.
Sumber utama ajaran islam sebagai pesan dakwah tidak lain adalah Alquran itu sendiri, yang setidaknya mengandung sepuluh maksud pesan Alquran sebagai sumber utama Islam yaitu:
1)   Menjelaskan hakikat tiga rukun agama Islam yaitu iman, Islam dan ihsan yang telah didakwahkan oleh para nabi dan rasul.
2)   Menjelaskan segala sesuatu yang belum diketahui manusia tentang hakikat kenabian, risalah dan tugas para rasul Allah.
3)   Menyempurnakan aspek psikologis manusia secara individu, kelompok, dan masyarakat.
4)   Mereformasi kehidupan sosial kemasyarakatan dan sosial politis di atas dassar kesatuan nilai kedamaian, dan keselamatan dalam keagamaan.
5)   Mengokohkan keistimewaan universalitas ajaran islam dalam membentuk kepribadian melalui kewajiban dan larangan.
6)   Menjelaskan hukum islam tentang kehidupan politik negara.
7)   Membimbing penggunaan urusan harta.
8)   Mereformasi sistem peperangan guna mewujudkan kebaikan dan kemaslahatan manusia dan mencegah dehumanisasi.
9)   Menjamin dan memberikan kedudukan yang layak bagi hak-hak kemanusiaan wanita dalam beragama dan berbudaya.
10)  Membebaskan perbudakan.
Pesan dakwah dapat  disampaikan dengan dua cara yaitu:
a)        Langsung, yaitu dakwah yang dilakukan dengan cara tatap muka antara komunikan dengan komunikatornya.
b)        Tidak langsung, yaitu dakwah yang dilakukan tanpa tetap muka antara komunikator dan komunikan dilakukan dengan bantuan sarana lain yang cocok.
Pesan dakwah (massage) daripada komunikasi ini secara khas adalah bersumber dari Alquran Surah Al-ahzab ayat 39 yang berbunyi sebagai berikut:
Artinya :
(yaitu) orang-orang yang menyapaikan risalah-risalah Allah, mereka takut kepada-Nya dan mereka tiada merasa takut kepada seorang(pun) selain kepada Allah. dan cukuplah Allah sebagai pembuat perhitungan ( Q.S. Al-ahzab: 39) .


Mengenai risalah-risalah Allah ini, Moh. Natsir membaginya dalam tiga bagian pokok, yaitu :
(1)   Menyempurnakan hubungan manusia dengan Khaliq-Nya, hablum minallah  atau mua’amalah ma’al Khaliq.
(2)   Menyempurnakan hubungan manusia dengan sesama manusia hablumminan-nas atau mua;mallah ma’al khalqi.
(3)   Mengadakan keseimbangan (tawazun) antara kedua itu, dan mengaktifkan kedua-duanya sejalan dan berjalan.[11]
2.    Pengertian  Dakwah
a. Menurut Bahasa
            Dakwah merupakan bahasa Arab, berasal dari kata da’wah, yang bersumber pada kata da’a, yad’u, da’watan yang bermakna, (1) memanggil, (2) menyeru, (3) menegaskan, (4) perbuatan atau perkataan untuk menarik kepada sesuatu, dan (5) memohon dan meminta.[12] Dalam kamus bahasa Arab kata  دعا   artinya memanggil atau mengundang.[13]
            Kata  dakwah diartikan dengan menyeru, memanggil atau mengajak manusia untuk melakukan kebaikan dan menuruti petunjuk, menyuruh berbuat kebajikan dan melarang perbuatan mungkar sesuai dengan ajaran Allah Swt yang diwahyukan kepada Rasul-Nya, agar mereka mendapat kebahagiaan di dunia dan akhirat.[14]
            Dari beberapa pengertian diatas, maka seiring dengan yang disebutkan  dalam Alquran bahwa secara etimologi dakwah itu berarti ajakan, seruan atau panggilan.
            Kata dakwah yang berarti ajakan terdapat pada surah Yusuf ayat 108 yang berbunyi:

Artinya:
“ Katakanlah: "Inilah jalan (agama) ku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan hujah yang nyata, Maha suci Allah, dan aku tiada Termasuk orang-orang yang musyrik”. ( Q.S. Yusuf: 108 )[15]

            Kata dakwah yang berarti seruan terdapat pada surah Fusilat ayat 33:


Artinya:
siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru kepada Allah, mengerjakan amal yang saleh, dan berkata: "Sesungguhnya aku Termasuk  orang-orang  yang  menyerah  diri ".( Q.S. Fusilat : 33 )[16]

            Kata dakwah yang berarti panggilan terdapat dalam surah al-Ma’arij ayat 17 yang berbunyi:
Artinya:
“ yang memanggil orang yang membelakang dan yang berpaling (dari agama).(Q.S. al-Ma’arij : 17 )”[17]

b. Menurut Istilah
            Dalam pandangan Ibnu Taimiyah, dakwah dalam arti seruan kepada agama Islam itu adalah seruan untuk beriman kepada Allah Swt dan ajaran yang dibawa oleh para utusan-Nya, membenarkan berita yang mereka sampaikan, dan menaati perintah Allah Swt.[18] Artinya dakwah Islamiyah adalah menyeru manusia agar beriman kepada Allah Swt dan bertakwa kepada-Nya dengan ajaran agama yang dibawa oleh utusan-Nya.
            Muhammad Al-Ghazali mengistilahkan dakwah dengan suara nubuwwah. Baginya dakwah adalah suara nubuwwah yang berkumandang menyadarkan umat manusia dari kelalaian dan kesalahan serta mengajak ke jalan Allah Swt.[19] Menurutnya dakwah Islamiyah ialah seperti halnya seruan para Nabi yang mengajak umat manusia kejalan kebenaran. Setelah tugas kenabian ditutup oleh Nabi Muhammad Saw, maka dakwah Islamiyah menjadi tugas para ulama yang menjadi pewaris tugas para nabi.
            Dakwah Islamiyah bukan hanya diartikan sebatas pada ceramah, pidato, khutbah, atau nasehat saja, namun mencakup artian yang luas.  Sejalan dengan pendapat Ali mahfuz, bahwa dakwah lebih dari sekedar ceramah dan pidato, walaupun memang secara lisan dakwah dapat diidentikkan dengan keduanya. Lebih dari itu, dakwah juga meliputi tulisan (bi al-qalam) serta perbuatan sekaligus keteladanan (bi al-hal wa al-qudwah).[20]
            Toha Yahya Oemar mengatakan bahwa, dakwah adalah mengajak manusia dengan cara bijaksana kepada jalan yang benar sesuai dengan perintah Allah Swt untuk kemaslahatan dan kebahagiaan mereka dunia dan akhirat.[21] Serta pakar Alquran, Quraish Shihab mendefinikan dakwah Islamiyah sebagai seruan atau ajakan kepada manusia menuju keinsafan, atau usaha mengubah situasi yang tidak baik kepada situasi yang lebih baik dan sempurna, baik terhadap pribadi maupun masyarakat.[22]
            Definisi dakwah dalam kitab Hidayah al-Mursyidin karangan Syaikh Ali Mahfudh ialah mendorong atau memotivasi orang lain untuk berbuat baik, mengikuti petunjuk Allah Swt, menyuruh orang lain agar senantiasa mengerjakan kebaikan, melarang untuk mengerjakan yang munkar, agar dia bahagia di dunia dan akhirat.[23]
            Dakwah Islamiyah menurut Penyuluh Agama Islam teladan Kota Banjarmasin tahun 2012 Asfiani Norhasani ialah kegiatan menyeru dan memanggil orang untuk beriman dan taat kepada Allah Swt sesuai dengan garis aqidah, syari’at dan akhlak Islam. Adapun kata dakwah yang sering disandingkan dengan kata islam ( dakwah Islamiyah) memiliki maksud bahwa setiap orang islam berkewajiban untuk melaksanakan dakwah.[24]
            Dalam istilah lain mengatakan dunia ini bagaikan sebuah kapal dimana di dalam kapal tersebut adalah umat manusia yang sedang mengarungi bahtera (lautan). Umat manusia yang berbuat dosa diistilahkan sebagai penumpang kapal yang membuat lubang di kapal tersebut sehingga dapat menenggelamkan kapal yang ditumpangi oleh banyak orang. Maka kegiatan dakwah Islamiyah yang dilakukan oleh pendakwah  juga diistilahkan sebagai menutup lubang dan mencegah agar orang lain agar tidak menambah lubang-lubang di dalam kapal, agar semua umat manusia dapat selamat dari tenggelam.[25]
            Begitu banyak definisi-definisi di atas dan terlihat dengan redaksi yang berbeda, namun dapat disimpulkan bahwa esensi dakwah merupakan aktivitas dan upaya untuk mengubah manusia, baik individu maupun masyarakat dari situasi yang baik kepada situasi yang lebih baik agar sejalan dengan ajaran Islam guna memperoleh kebahagiaan di dunia dan di akhiat.
            Menurut Abdul Rosyad Shaleh, terdapat titik temu antara berbagai definisi dakwah tersebut ada tiga. Titik temu tersebut, ialah :
1.      Dakwah adalah proses aktivitas yang dilakukan secara sadar.
2.      Usaha yang diselenggarakan merupakan mengajak orang untuk beriman dan menaati Allah atau memeluk Islam dan amar ma’ruf nahi munkar. Berupa perbaikan membangun masyarakat.
3.      Proses tersebut bertujuan mencapai kehidupan yang bahagia dan sejahtera yang diridhai Allah.[26]
Dakwah di zaman sekarang dapat menggunakan media-media massa yang berkembang saat ini, baik media audio seperti radio atau media visual seperti televisi dan film, serta media cetak seperti jurnal, tabloid, surat kabar, karya tulis seperti cerpen, novel dan internet. Sesuai dengan kepentingannya. Faktor penting lainnya adalah pengemasan pesan dakwah itu sendiri dalam media, sehingga membuat dakwah menjadi menarik. Misalnya surat kabar lewat bahasa sederhananya, pesan dakwah akan disenangi oleh masyarakat umum
Padahal kalau kita becermin Dakwah yang baik bukanlah dakwah yang bersifat menggurui, betapapun misalnya disampaiakan oleh seseorang dengan kualifikasi yang cukup memilki bobot, seorang juru dakwah yang baik, haruslah jujur pada dirinya sendiri terlebih dahulu. Bagaimana pesan yang terkandung dalam al Qur’an melalui dakwah dapat menggugah kesadaran dan menggerakkan partisipasi khalayak pendengarnya, apabila disampaiakan oleh orang yang dalam kedudukan dan jabatannya justru memilki citra satunya kata dengan tindakan.
Pada sejarah nabi, dalam teladan dakwahnya beliau senantiasa menunjukan satunya kata dengan tindakan. Nabi menunjukan adanya kesatuan antara ucapan degan perbuatan. Beliau tidak hanya hidup berdoa dan berkhutbah, tanpa melakukan aksi sosial kemasyarakatan guna mewujudkan misi akbarnya. Dari teladan dakwah yang demikian maka sesungguhnya dakwah bukanlah sekedar retorika belaka, tetapi harus mampu menjadi teladan sebagai pembangunan secara nyata.
Seorang da’i harus mampu mengendalikan emosi dalam menyampaikan dakwahnya. Dakwah adalah kabar gembira yang informatif. Kata gembira selalu berkonotasi emosi, tetapi pengertian gembira yang disebut dalam Alquran tidak lain adalah informasi edukatif yang diwahyukan oleh Allah kepada nabi muhammad Saw. Untuk diteruskan kepada seluruh umat manusia. Manakala informasi dakwah itu disampaikan, ia harus bebas dari pengertian ria atau ujub. Jadi, emosi yang ada pada seorang da’i adalah emosi positif berupa ekspresi kelemahlembutan, kesabaran, keiklasan, dan keramahtamahan.[27]
Tujuan dakwah ini perlu perlu kita jelaskan secara lebih kongkrit untuk memberikan gambaran kepada kita apa yang harus dicapai, agar supaya jalannya jangan menyimpang dari tujuan.
Ada tiga pokok yang terpenting dari tujuan dakwah yaitu :[28]
a)    Mengajak manusia seluruhnya agar menyembah Allah Yang Maha Esa, tanpa mempersekutukannya dengan sesuatu dan tidak pula bertuhankan selain Allah.
Firman Allah dalam Al-Qur’an Surah An-Nisa:36 senagai berikut :
 
Artinya :
Sembahlah Allah dan janganlah kamu   mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun (Q.S. An-Nisa: 36 ).

b)    Mengajak kaum muslimin agar mereka ikhlas beragama karena Allah, menjaga agar supaya amal perbuatannya, jangan bertentangan dengan iman.
Firman Allah :
Artinya :
Katakanlah: "Apakah akan kami beritahukan kepadamu tentang orang-orang yang paling merugi perbuatannya?"Yaitu orang-orang yang Telah sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia ini, sedangkan mereka menyangka bahwa mereka berbuat sebaik-baiknya

Masalah pokok yang menjadi pesan dakwah adalah akidah Islamiyah. Aspek akidah ini yang akan membentuk moral (akhlak) manusia. Oleh karena itu, yang pertama kali dijadikan pesan di dalam dakwah Islamiyah adalah masalah akidah atau keimanan.[29]
Akidah adalah kepercayaan atau keyakinan yang berada didalam hati. Sedangkan akidah Islam tauhidullah. Tauhid pada esensinya dibagi menjadi dua bagian, yaitu: (1) tauhid uluhiyah, yaitu menyakini bahwa Allah Swt adalah Tuhan Yang Maha Esa yang harus diibadati tanpa mempersekutukan-Nya; dan (2) tawhid rububiyah, yaitu menyakini bahwa Allah swt ialah pencipta, pemilik, penguasa, pemimpin dan pemelihara alam semesta.[30]
Masalah akidah yang menjadi pesan utama dakwah ini mempunyai ciri-ciri yang membedakan dengan kepercayaan lain, yaitu:
a.       Keterbukaan melalui kesaksian (syahadat). Dengan demikian seorang muslim selalu jelas identitasnya dan besedia mengakui identitas agama lain.
b.      Cakrawala yang luas dengan memperkenalkan bahwa Allah swt adalah Tuhan seluruh alam, bukan Tuhan kelompok atau bangsa tertentu.
c.       Kejelasan dan kesederhanaan. Seluruh ajaran akidah, baik soal ketuhanan, kerasulan, ataupun alam gaib sangat mudah untuk dipahami.
d.      Ketuhanan antara iman dan Islam atau antara iman dan amal perbuatan.[31]

Akidah keimanan atau keyakinan dalam islam.[32] Masalah kepercayaan erat kaitannya dengan soal islam. Hakikat keduanya adalah satu kesatuan yang paling berkait erat. Dalam bidang akidah, muhammadiyah berusaha untuk menegakkan islam murni dengan membersihkan dari TBC tanpa mengabaikan prinsip toleransi.[33]
Menurut Abu A’la Maududi, menenrangkan tentang hakikat hubungan antara iman dan islam antara islam dengan iman, adalah laksana hubungan pohon kayu dengan uratnya. Sebagaimana pohon kayu tidak dapat tumbuh tanpa uratnya, demikian  pula, mustahil bagi seseorang yang tidak memiliki iman untuk memulai dirinya menjadi seorang muslim.[34]Akidah adalah masalah fundamental dalam islam, ia menjadi titik tolak bagi permulaan islam. Sebaliknya tegaknya aktifitas keislaman dalam hidup dan kehidupan seseorang itulah yang dapat menerangkan bahwa orang itu memiliki akidah atau menunjukan kualitas iman yang dimiliki. Karena iman itu bersegi teoritis dan ideal yang hanya dapat diketahui dengan bukti lahiriyah dalam hidup dan kehidupan sehari-hari.


[1] Wahyuni Ilaihi, Komunikasi Dakwah, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya,  2010),  h. 97.
[2] Nahed  Nuwairah, Pengantar  Filsafat  Dakwah,  ( Institut Agama Islam negeri antasari fakultas dakwah Banjarmasin 2010) , h. 42.

[3]  Sinar baru Algensindo,  Alquran dan Terjemahnya.
[4]  Muhammad  Munir dan Wahyu Ilahi, Manajemen Dakwah. Jakarta, Kencana, 2009. h. 26-27.
[5] Tata Sukayat, Op. Cit., h. 33.
[6] Tata Sukayat, Loc. Cit.
[7] Wahyu Ilahi, Op. Cit., h. 20.
[8] Tata Sukayat, Loc. Cit.
[9] Wahyu Ilahi, Komunikasi Dakwah, Op. Cit., h. 20.
[10] Muhammad  Munir dan Wahyu Ilahi, Op. Cit., h. 30-31.
[11] Natsir, Fighud Da’wah, Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia,  (Jakarta, 1977),  h.  36.
[12] Tata Sukayat, Quantum Dakwah (,Jakarta: Rineka Cipta, 2009), h.1.
                [13]  Atabik Ali dan Ahmad Zuhdi Muhdhor, Kamus Kontemporer Arab-Indonesia (Yogyakarta: Multi Karya Grafika, 2003), cet. 8, h. 895
[14] Siti Uswatun Khasanah, Berdakwah Dengan Jalan Debat ( Purwokerto: STAIN Purwokerto Press, 2007) , h. 25.
[15]  Departemen Agama RI,  Al-aliyy Al-Quran & Terjemahnya ( Bandung: Diponogoro, 2000),  h. 198.
[16] Ibid., h. 383.
[17] Ibid.. h. 454.
[18] Tata Sukayat, Op. Cit., h. 3.
[19] A. Hasjmy, Dustur Da’wah Menurut Al-Qur’an (Jakarta: Bulan Bintang, 1994), h. 18.
[20] A. Ilyas Ismail dan Prio Hotman, Filsafat Dakwah Rekayasa Membangun Agama Dan Peradaban Islam ( Jakarta: Kencana,  2011 ), h. 28.
[21] Muhammad  Munir dan Wahyu Ilahi, Manajemen Dakwah (Jakarta: Kencana, 2009 ),
h .20.
[22] Muhammad Munir Dan Wahyu Ilahi, Loc. Cit.
                [23]  MA. Sahal Mahfudh,  Nuansa Fiqih Sosial ( Yogyakarta: Lkis Yogyakarta, 2011), cet. 8, h. 105
                [24] Asfiani Norhasani, “ Dakwah Tauhid Solusi Problematika Umat Islam”, Jurnal Penyuluh (Banjarmasin: Bidang Penamas Kanwil Kementerian Agama Provinsi Kalimantan Selatan, tt), Edisi. 3, h. 9
                [25]  Djayadi, Masuk Surga Itu Mudah, Jangan Lalai ( Jakarta: Buku Kita, 2009 ), cet. 1, h. 92
[26] M. Ridho Syabibi, Metodologi Ilmu Da’wah Kajian Ontologism Da’wah Ikhwan Al-Safa (Yogjakarta: Pustaka Belajar, 2008), h.47.
[27]  Sani Mukhyar dkk, Jurnal  Ilmiah   Ilmu Dakwah,  (No.16, Tahun  I, Juli-Desember, 2009),  h. 100.
[28] Abdul Kadir Munsyi, Metode Diskusi  dalam  Dakwah, (Penerbit Al-Iklas Surabaya 1981), h.  20-22.
[29] Muhammad Munir dan Wahyu Ilahi, Op. Cit., h. 24.
[30] Tata Sukayat, Quantum Dakwah.  Jakarta, Rineka Cipta, 2009. h. 32-33.
[31] Wahyu Ilahi, Komunikasi Dakwah, ( Bandung: Remaja Rosdakarya, 2010), h. 103.
              [32] Yusran Asmuni, Ilmu Tauhid, (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 1994), h. 88.
[33] Syauqi, Muhammadiyah Dalam Bingkai Budaya, ( Yoqyakarta Pustaka Prisma, 2009), h. 67
[34]  Nasruddin Razak, Dienul Islam, (Bandung : PT . Alma’arif, 1989, h. 120.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar