Langsung ke konten utama

Postingan

semanagat KERJANYA

Ibn Khaldun dalam Muqaddimah sudah menulis sebuah hukum sosial yang tragis: "Ketika negara masih kokoh, pajak sedikit namun hasilnya banyak. Tetapi ketika negara lemah, pajak diperbanyak, dan hasilnya justru semakin berkurang. Sebab rakyat tak lagi mampu menanggung beban." Ironinya, teori ini kini terbukti di depan mata. Pajak dinaikkan, subsidi dipangkas, pungutan diperluas, tetapi kesejahteraan rakyat tetap jalan di tempat. Sementara kelas istana justru semakin bugar dengan fasilitas, tunjangan, dan gaya hidup yang tak pernah mengenal kata hemat. Padahal, dalam tradisi fikih, prinsip penarikan pajak harus berlandaskan keadilan (al-‘adl fi at-taklīf). Imam al-Mawardi dalam al-Ahkām as-Sulthāniyyah menegaskan, harta rakyat tidak boleh dipungut kecuali dengan hak yang jelas dan untuk kemaslahatan yang nyata. Sebab itu, ‘Umar bin Khattab RA menolak menambah beban rakyat meskipun kas negara menipis, dengan kalimat yang tegas: "Aku tidak akan mempertemukan mereka...

ribun yang mengantar

Dengan hati yang penuh duka yang mendalam, kami turut berduka cita atas kehilangan sosok penuh semangat, Affan Kurniawan, seorang driver ojek online yang terjebak dalam tragedi yang melibatkan mobil rantis Brimob. Kehilangannya menyisakan luka yang tidak terobati, meninggalkan kita dalam kesedihan mendalam dan rasa kehilangan yang tak terhingga. Semoga almarhum diberikan tempat terbaik di sisi-Nya, dan keluarga yang ditinggalkan diberi kekuatan, ketabahan, serta penghiburan di tengah rasa pilu yang menyelimuti hati ini. Semoga jiwa Affan tenang dalam pelukan kasih Allah, dan kenangannya selalu menjadi inspirasi dalam setiap langkah kita

apabila ada kesalahan

Imam Malik pernah menegaskan "tidak ada seorang pun perkataannya yang dapat diambil seluruhnya dan ditolak seluruhnya kecuali penghuni kubur ini (sambil menunjuk makam Nabi Saw) ” Ini artinya, ulama mengajarkan kepada kita untuk bersikap objektif, bukan fanatik. Menghormati ulama itu wajib, tapi menutup mata dari kesalahan mereka bukanlah adab, melainkan kedunguan dengan dalih mahabbah. Jadi, adab yang benar justru lahir dari ilmu. Kita hormati ulama, kita cintai mereka, tapi kita tetap ukur semua dengan timbangan syariat. Sebab, kebenaran itu tinggi dan tidak bergantung pada siapa yang mengucapkannya. Fanatisme buta hanyalah jerat yang membuat umat jumud, sementara objektif adalah tanda kejujuran ilmu dan kematangan iman. Jangan sampai gelar muhibbin hanya berhenti pada romantisme, tapi tidak mewarisi kejujuran sikap mereka dalam mengutamakan kebenaran.

pengemudi ojol

Innalillahi wa innailaihi rojiun. Affan Kurniawan, pengemudi ojol, tulang punggung 7 anggota keluarganya, wafat setelah dilindas kendaraan taktis Brimob. Hidup sederhana di kontrakan sempit 3x11 meter, tapi semangat juangnya begitu luas: menafkahi orang tua, adik, dan keluarganya. Rasulullah ﷺ bersabda: “Sebaik-baik kalian adalah yang paling baik kepada keluarganya.” (HR. Tirmidzi). Affan sudah mengajarkan arti sabda itu dengan pengorbanannya. Doa terbaik untuk Affan. Semoga Allah lapangkan kuburnya, angkat derajatnya, dan jadikan perjuangannya sebagai cahaya untuk keluarganya.

dibangkitkan tawakal

Dalam ilmu tawakkul, ekspektasi duniawi yang tidak tercapai bukan selalu tanda kegagalan, melainkan momen untuk memurnikan tauhid dan memperbarui orientasi hati kepada rabbul ‘alamin. Syaikh Ibn ‘Athaillah dalam Al-Hikam menulis "istirahatkan dirimu dari mengatur (kehendakmu), karena apa yang telah diatur untukmu oleh selainmu tidak akan diatur olehmu." Artinya, ketika ekspektasi kita dijatuhkan, itu adalah mekanisme ilahi untuk mengembalikan kita pada sumber kekuatan hakiki: tawakal. Ekspektasi sering kali dibangun dari asumsi personal yang tak utuh memahami realitas kehidupan, sedangkan tawakal dibangun dari pengakuan bahwa manusia hanya mampu berikhtiar, dan Allah-lah yang menentukan hasilnya. Sayyidina Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu juga pernah berkata "aku tidak peduli dalam keadaan apapun aku berada, apakah aku senang atau susah, karena aku tidak tahu mana yang lebih baik bagiku.” Jadi, ketika kita ‘dijatuhkan ekspektasi’, sebenarnya kita sedang di...

hanya cemilan

 Ilmu yang kita dapat dari media sosial itu ibarat camilan — mengenyangkan sebentar tapi cepat habis dan tak jarang banyak gizinya hilang. Ilmu dari buku memang lebih baik, tapi seringkali hanya seperti makanan instan — praktis, tetapi tak selalu lengkap nutrisinya. Adapun ilmu yang diambil dari guru yang memiliki sanad keilmuan yang bersambung hingga Rasulullah ﷺ, itulah makanan pokok yang benar-benar menghidupi hati dan akal. Imam Malik رحمه الله pernah berkata: "إن هذا العلم دين فانظروا عمن تأخذون دينكم" "Sesungguhnya ilmu ini adalah agama, maka lihatlah dari siapa kalian mengambil agama kalian." Belajar langsung kepada guru bukan hanya soal mendapatkan materi pelajaran, tapi juga warisan adab, pemahaman kontekstual, dan keberkahan sanad. Rasulullah ﷺ bersabda: "إنما العلم بالتعلم" (رواه البخاري في الأدب المفرد) "Sesungguhnya ilmu itu hanya didapat dengan belajar (secara langsung)." Ilmu yang bergizi adalah yang memberi kekuatan im...

Kalimat sederhana

 Kalimat sederhana dari Guru Zuhdi ini sejatinya mengajarkan tauhid rububiyyah, bahwa Allah-lah yang mengatur setiap jatah rezeki hamba-Nya. Sebagaimana firman-Nya: “Dan tidak ada suatu makhluk melata pun di bumi melainkan Allah-lah yang memberi rezekinya...” (QS. Hūd: 6) Pesan ini juga menepis budaya resah, iri, dan curiga pada sesama. Karena dalam pandangan iman, rezeki tidak pernah tertukar. Yang ditetapkan Allah untukmu tidak akan mungkin jatuh ke tangan orang lain, dan yang bukan bagianmu tidak akan bisa engkau genggam, sekalipun engkau kejar mati-matian. Imam Ghazali menegaskan, hakikat tawakkal adalah keyakinan bahwa apa yang telah dijamin Allah tidak akan luput, sementara apa yang belum ditentukan tidak akan datang hanya karena ambisi. Maka apa gunanya menggerogoti hati dengan hasad, saling menjatuhkan, atau mencurangi orang lain? Bukankah semua itu justru tanda ketidakpercayaan pada jaminan Allah? Justru, yang perlu kita khawatirkan bukanlah "kurangnya rezeki", melai...