Dalam ilmu tawakkul, ekspektasi duniawi yang tidak tercapai bukan selalu tanda kegagalan, melainkan momen untuk memurnikan tauhid dan memperbarui orientasi hati kepada rabbul ‘alamin.
Syaikh Ibn ‘Athaillah dalam Al-Hikam menulis "istirahatkan dirimu dari mengatur (kehendakmu), karena apa yang telah diatur untukmu oleh selainmu tidak akan diatur olehmu."
Artinya, ketika ekspektasi kita dijatuhkan, itu adalah mekanisme ilahi untuk mengembalikan kita pada sumber kekuatan hakiki: tawakal. Ekspektasi sering kali dibangun dari asumsi personal yang tak utuh memahami realitas kehidupan, sedangkan tawakal dibangun dari pengakuan bahwa manusia hanya mampu berikhtiar, dan Allah-lah yang menentukan hasilnya.
Sayyidina Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu juga pernah berkata "aku tidak peduli dalam keadaan apapun aku berada, apakah aku senang atau susah, karena aku tidak tahu mana yang lebih baik bagiku.”
Jadi, ketika kita ‘dijatuhkan ekspektasi’, sebenarnya kita sedang dididik untuk ‘dibangkitkan tawakal’—bukan pasrah pasif, tapi keikhlasan aktif yang mempercayakan hasil sepenuhnya kepada Allah, setelah ikhtiar maksimal dilakukan.
Komentar
Posting Komentar