Dipost di linimasa Bang @ahmadsahroni88 , lagi-lagi terjadi pembulyan junior oleh senior nya. Entah di SMK atau SMA, yang jelas ini di institusi pendidikan, entah negeri, entah swasta.
Fikiran saya tidak berfokus pada senior yang memukuli adik kelasnya, yang jadi fokus saya adalah kenapa output pendidikan bisa hampir merata deffect nya, simpang errornya seperti ini.
Kita harus berani melihat sisi lain,
Pertama, kita harus berani mengevaluasi kembali beban kurikulum, beban ajar kepada generasi ini. Bisa jadi yang dibebankan untuk diajarkan terlalu banyak, tetapi malah tidak fundamental ke substansi target pendidikan, yaitu pembentukan jiwa, mental diri.
Kedua, kita harus kembali menengok apa yang telah kita amanatkan ke pada para guru yang sudah berjuang mendidik generasi, bisa jadi kita terlalu sibuk dengan sertifikasi ini itu, para guru dikejar target mentransfer pengetahuan ini itu, tetapi gak punya waktu menelisik kedalam mental anak.
Ketiga, bisa jadi ekosistem pendidikan sekolah sudah tidak relevan. Puluhan anak dididik oleh guru yang bergantian, bahkan hanya satu guru, dimana kedekatan emosi, keterikatan personal, tidak terbentuk.
Ada baiknya menyimak kembali pola pendidikan berbasis masjid, berbasis murobbiy di halaqah-halaqah masjid, berbasis para kiyai yang hidup bersama santri. Dimana mental dan jiwa santri dibentuk dalam tata krama adab yang tinggi.
Ini baru tiga hal, belum lagi bisa jadi ini efek dari frustasinya para orang tua yang tidak sanggup lagi fokus menyayangi anak-anak nya, karena tuntutan kehidupan, beratnya beban hidup, sehingga generasi ini kekurangan kasih sayang.
Rumah tidak lagi menjadi rumah, hanya menjadi tempat singgah.
Meja makan bukan lagi menjadi wahana kehangatan, tetapi hanya menyediakan pakan seakan anggota keluarga adalah ternak yang harus gemuk.
Manusia tidak lagi hidup diasuh manusia, tetapi hidup diasuh algoritma tayangan youtube, diasuh game online, diasuh kecerdasan buatan yang memfeeding morfin otak dalam content yang tinggal di scroll.
Darurat generasi, darurat pendidikan, sekolah menjadi tempat yang riskan dan membahayakan bagi generasi muda kita hari ini.
Fikiran saya tidak berfokus pada senior yang memukuli adik kelasnya, yang jadi fokus saya adalah kenapa output pendidikan bisa hampir merata deffect nya, simpang errornya seperti ini.
Kita harus berani melihat sisi lain,
Pertama, kita harus berani mengevaluasi kembali beban kurikulum, beban ajar kepada generasi ini. Bisa jadi yang dibebankan untuk diajarkan terlalu banyak, tetapi malah tidak fundamental ke substansi target pendidikan, yaitu pembentukan jiwa, mental diri.
Kedua, kita harus kembali menengok apa yang telah kita amanatkan ke pada para guru yang sudah berjuang mendidik generasi, bisa jadi kita terlalu sibuk dengan sertifikasi ini itu, para guru dikejar target mentransfer pengetahuan ini itu, tetapi gak punya waktu menelisik kedalam mental anak.
Ketiga, bisa jadi ekosistem pendidikan sekolah sudah tidak relevan. Puluhan anak dididik oleh guru yang bergantian, bahkan hanya satu guru, dimana kedekatan emosi, keterikatan personal, tidak terbentuk.
Ada baiknya menyimak kembali pola pendidikan berbasis masjid, berbasis murobbiy di halaqah-halaqah masjid, berbasis para kiyai yang hidup bersama santri. Dimana mental dan jiwa santri dibentuk dalam tata krama adab yang tinggi.
Ini baru tiga hal, belum lagi bisa jadi ini efek dari frustasinya para orang tua yang tidak sanggup lagi fokus menyayangi anak-anak nya, karena tuntutan kehidupan, beratnya beban hidup, sehingga generasi ini kekurangan kasih sayang.
Rumah tidak lagi menjadi rumah, hanya menjadi tempat singgah.
Meja makan bukan lagi menjadi wahana kehangatan, tetapi hanya menyediakan pakan seakan anggota keluarga adalah ternak yang harus gemuk.
Manusia tidak lagi hidup diasuh manusia, tetapi hidup diasuh algoritma tayangan youtube, diasuh game online, diasuh kecerdasan buatan yang memfeeding morfin otak dalam content yang tinggal di scroll.
Darurat generasi, darurat pendidikan, sekolah menjadi tempat yang riskan dan membahayakan bagi generasi muda kita hari ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar