Setiap jalan harus dilalui, dengan riak kerinduan, kepedihan dan suka citanya. Setiap hati harus melalui berbagai cinta, dengan berbagai rupa dan tabiatnya. Setiap jiwa harus menggalami masa pasang dan masa surutnya bersama cinta. Biarkan jiwa menjalani rasanya, panas, dingin, membara, berkecamuk, tenang, menghanyutkan dan .... b u t a. Sampai suatu saat nanti jiwa akan menemukan muaranya dan menyadari ”hanya tinggal aku dan Allah”. Dan Rumi berkata "Bersukalah dalam sukamu kasihku,,, Biarkan aku damai dalam kebesaran Tuhan".
Ibn Khaldun dalam Muqaddimah sudah menulis sebuah hukum sosial yang tragis: "Ketika negara masih kokoh, pajak sedikit namun hasilnya banyak. Tetapi ketika negara lemah, pajak diperbanyak, dan hasilnya justru semakin berkurang. Sebab rakyat tak lagi mampu menanggung beban." Ironinya, teori ini kini terbukti di depan mata. Pajak dinaikkan, subsidi dipangkas, pungutan diperluas, tetapi kesejahteraan rakyat tetap jalan di tempat. Sementara kelas istana justru semakin bugar dengan fasilitas, tunjangan, dan gaya hidup yang tak pernah mengenal kata hemat. Padahal, dalam tradisi fikih, prinsip penarikan pajak harus berlandaskan keadilan (al-‘adl fi at-taklīf). Imam al-Mawardi dalam al-Ahkām as-Sulthāniyyah menegaskan, harta rakyat tidak boleh dipungut kecuali dengan hak yang jelas dan untuk kemaslahatan yang nyata. Sebab itu, ‘Umar bin Khattab RA menolak menambah beban rakyat meskipun kas negara menipis, dengan kalimat yang tegas: "Aku tidak akan mempertemukan mereka...
Komentar
Posting Komentar