Sabtu, 21 April 2018

Unsur-unsur Dakwah



Unsur-unsur dakwah adalah komponen yang terdapat dalam setiap kegiatan dakwah. Para juru dakwah pada umumnya haruslah mengetahui unsur dakwah sebagai komponen pelaksanaan dakwah. Sedikit banyaknya dapat mempengaruhi kegiatan dakwah dengan mengetahui unsur-unsur dakwah. Unsur-usur dakwah meliputi :

1. Da’i ( Juru Dakwah )
            Da’i merupakan bahasa Arab sebagai isim fa’il dari akar kata da’a – yad’u yang berarti seorang laki-laki sebagai subjek atau pelaku dalam menjalankan dakwah. Sedangkan untuk perempuan lazim digunakan istilah da’iyah.[1] Dengan kata lain, da’i adalah orang yang melaksanakan dakwah baik lisan, tulisan, maupun perbuatan yang dilakukan secara individu, kelompok, atau lewat organisasi atau lembaga.[2]
            Nasaruddin Latief mendefinsikan bahwa da’i adalah muslim dan muslimat yang menjadikan dakwah sebagai suatu ibadah pokok bagi tugas ulama. Ahli agama adalah wa’ad, mubaligh mustama’in (juru penerang) yang menyeru, mengajak, dan memberi pengajaran agama Islam.[3]
Allah swt memerintahkan Nabi Muhammad saw untuk berdakwah. Dalam unsur dakwah, Nabi Muhammad ialah seorang da’i yakni sebagai juru dakwah Islamiyah yang diperintahkan oleh Allah swt untuk menyampaikan ajaran agama kepada umat beliau. Hal tersebut terdapat dalam Surah Al-Ahzab 
Artinya:
”Hai nabi, Sesungguhnya Kami mengutusmu untuk Jadi saksi, dan pembawa kabar gemgira dan pemberi peringatan, dan untuk Jadi penyeru kepada agama Allah dengan izin-Nya dan untuk Jadi cahaya yang menerangi.(Q.S. Al-Ahzab:45-46)”[4]

Adapun syarat-syarat menjadi juru dakwah, menurut Hamzah Ya’qub, ialah:
1.      Mengetahui tentang Alquran dan sunnah Rasul Swt sebagai pokok agama Islam.
2.      Memiliki pengetahuan Islam berinduk pada alquran dan assunah.
3.      Memiliki pengetahuan yang menjadi alat kelengkapan dakwah seperti teknik dakwah, ilmu jiwa, sejarah, perbadingan agama, dan antropologi.
4.      Memahami bahasa umat yang diajak kepada jalan yang diridhai oleh Allah.
5.      Penyantun dan lapang dada.
6.      Berani kepada siapapun dalam menyatakan, membela dan mempertahankan kebenaran.
7.      Memberikan contoh dalam segala kebajikan.
8.      Berakhlak yang baik sebagai muslim.
9.      Memiliki ketahanan mental yang kuat.
10.  Ikhlas berdakwah kepada Allah, mengikhlaskan amal dakwah semata-mata menuntut keridhaan Allah.
11.  Mencintai tugasnya sebagai juru dakwah dan tidak mudah meninggalkan tugas karena pengaruh keduniaan.[5]

2. Mad’u ( Penerima Dakwah )
Mad’u secara bahasa merupakan bahasa Arab yang berarti objek dakwah (penerima dakwah). Secara istilah, menurut al-Bayanuny mad’u adalah objek dakwah, yaitu menusia secara universal baik jarak dekat maupun jauh, manusia muslim maupun kafir, baik laki-laki maupun perempuan.[6] Istilah  mad’u sering juga dikatakan dengan jama’ah, sasaran dakwah, objek dakwah, mitra dakwah dan lain sebagainya.
Muhammad Abduh membagi mad’u menjadi tiga golongan, yakni golongan cerdik, golongan awam, dan golongan yang berbeda dengan golongan cerdik dan awam. Adapun yang dimaksud dengan golongan-golongan tersebut ialah :
a.       Golongan cerdik cendikiawan yang cinta kebenaran, dapat berpikir secara kritis, dan cepat dapat menangkap persoalan.
b.      Golongan awam, yaitu orang kebanyakan yang belom dapat berpikir secara kritis dan mendalam, serta belum dapat menangkap pengertian-pengertian yang tinggi.
c.       Golongan yang berbeda dengan kedua gololongan tersebut, mereka senang membahas sesuatu tetapi hanya dalam batas tertentu saja, dan tidak mampu membahasnya secara mendalam.[7]
3. Maudhu Al-Da’wah ( Pesan Dakwah )
Dalam ilmu komunikasi pesan dakwah adalah massage, yaitu simbol-simbol. Dalam literatur berbahasa Arab, pesan dakwah disebut maudhu al-da’wah. Istilah pesan dakwah dipandang lebih tepat untuk menjelaskan, isi dakwah berupa kata, gambar, lukisan, dan sebagainya yang diharapkan dapat memberikan pemahaman bahkan perubahan sikap dan perilaku objek dakwah (mad’u).[8]
Pada prinsipnya, pesan apapun dapat dijadikan sebagai pesan dakwah selama tidak bertentangan dengan sumber utamanya, yaitu  Alquran dan Hadits. Dengan demikian, semua pesan dakwah yang bertentangan terhadapan alquran dan hadits tidak dapat disebut pesan dakwah.[9]
Secara umum pesan dakwah dapat diklasifikasikan menjadi tiga permasalahan pokok, yaitu:


a. Masalah akidah
Masalah pokok yang menjadi pesan dakwah adalah akidah Islamiyah. Aspek akidah ini yang akan membentuk moral (akhlak) manusia. Oleh karena itu, yang pertama kali dijadikan pesan di dalam dakwah Islamiyah adalah masalah akidah atau keimanan.[10]
Akidah adalah kepercayaan atau keyakinan yang berada didalam hati. Sedangkan akidah Islam tauhidullah. Tauhid pada esensinya dibagi menjadi dua bagian, yaitu: (1) tauhid uluhiyah, yaitu menyakini bahwa Allah Swt adalah Tuhan Yang Maha Esa yang harus diibadati tanpa mempersekutukan-Nya; dan (2) tawhid rububiyah, yaitu menyakini bahwa Allah swt ialah pencipta, pemilik, penguasa, pemimpin dan pemelihara alam semesta.[11]
Masalah akidah yang menjadi pesan utama dakwah ini mempunyai ciri-ciri yang membedakan dengan kepercayaan lain, yaitu:
1.      Keterbukaan melalui kesaksian (syahadat). Dengan demikian seorang muslim selalu jelas identitasnya dan besedia mengakui identitas agama lain.
2.      Cakrawala yang luas dengan memperkenalkan bahwa Allah swt adalah Tuhan seluruh alam, bukan Tuhan kelompok atau bangsa tertentu.
3.      Kejelasan dan kesederhanaan. Seluruh ajaran akidah, baik soal ketuhanan, kerasulan, ataupun alam gaib sangat mudah untuk dipahami.
4.      Ketuhanan antara iman dan Islam atau antara iman dan amal perbuatan.[12]

b. Masalah syariah
Pesan dakwah yang berhubungan dengan masalah syariah atau sering disebut dengan hukum Islam. Syariah ini sangat luas dan mengikat seluruh umat Islam. Syariat merupakan jantung yang tak bisa dipisahkan dari kehidupan umat Islam diberbagai penjuru dunia, dan sekaligus merupakan hal yang patut dibanggakan. Kelebihan dari syariah Islam antara lain, adalah bahwa ia tidak dimiliki oleh umat-umat yang lain. Syariah ini bersifat universal, yang menjelaskan hak-hak umat muslim dan nonmuslim, bahkan hak seluruh umat manusia. Dengan adanya materi syariah ini, maka tatanan sistem dunia akan teratur dan sempurna.[13]
Pesan dakwah yang berhubungan dengan masalah syariah terbagi menjadi dua, yakni ibadah dan mu’amalah. Ibadah adalah menyembah Allah Swt dengan tidak mempersekutukan-Nya yang diwujudkan dalam dua bentuk, yaitu: (1) ibadah mahdlah, yaitu ibadah yang langsung kepada Allah swt, seperti ibadah sholat, ibadah haji, ibadah puasa, dan lain sebagainya yang telah ditentukan aturannya dalam disiplin ilmu fiqih; dan (2) ibadah ghaira mahdlah, yaitu ibadah yang tidak langsung kepada Allah swt, yakni terkait dengan makhluk Allah, seperti santunan kepada kaum dhu’afa, gotong-royong membangun jembatan, menjaga keamanan dan lain sebagainya.[14] Mu’amalah adalah interaksi dan komunikasi antar sesama manusia dengan manusia lain sebagai makhluk sosial dalam kerangka hablu min al-nas hubungan baik antar sesame manusia.[15] Masalah mu’amalah meliputi: hukum berniaga, hukum nikah, hukum waris, hukum pidana, hukum Negara, hukum perang dan damai.[16]

c. Masalah Akhlak
Akhlak adalah budi pekerti, adat kebiasaan, perangai, muru’ah atau thariqah atau sesuatu yang sudah menjadi tabiat. Sedangkan menurut istilah, Ibnu Miskawih mengatakan akhlak adalah sifat yang tertanam dalam jiwa yang mendorong untuk melakukan perbuatan tanpa memerlukan pertimbangan.[17]
Pesan dakwah mengenai masalah akhlak meliputi akhlak kepada Allah Swt, akhlak terhadap manusia, diri sendiri, tetangga, masyarakat, akhlak terhadap bukan manusia, flora dan fauna, dan sebagainya.[18] Artinya akhlak bukan hanya terhadap Allah Swt saja, namun juga terhadap apa-apa yang telah diciptakaannya, termasuk diri sendiri.
Ajaran akhlak dalam Islam pada dasarnya meliputi kualitas perbuatan manusia yang merupakan ekspresi dan kondisi kejiwaannya. Akhlak dalam Islam bukan norma ideal yang tidak dapat diimplementasikan, dan bukan pula sekupulan etika yang terlepas dari kebaikan norma sejati. Dengan demikian, yang menjadi materi akhlak dalam Islam adalah mengenai sifat dan kriteria perbuatan manusia serta berbagai kewajiban yang harus dipenuhinya. Karena semua manusia harus mempertanggungjawabkan setiap perbuatannya, maka Islam mengajarkan perbuatan dan kewajiban yang mendatangkan kebahagiaan, bukan siksaan. Bertolak dari prinsip perbuatan manusia ini, maka materi akhlak membahas tentang norma luhur yang harus menjadi jiwa dari perbuatan manusia, serta tentang etika atau tata cara yang harus dipraktikkan dalam perbuatan manusia sesuai dengan jenis sasarannya.[19]
4. Wasilah Dakwah ( Media Dakwah )
Wasilah atau media dakwah adalah alat yang digunakan untuk menyampaikan materi dakwah (ajaran Islam) kepada mad’u.[20] Dalam bahsa Arab media sama dengan wasilah atau bentuk dari bentuk jamak, wasail yang berarti alat atau perantara.[21] Ahli komunikasi mengartikan media sebagai alat yang menghubungkan pesan komunikasi yang disampaikan komunikator kepada komunikan (penerima pesan).[22]             
Untuk menyampaikan ajaran Islam kepada umat, dakwah dapat menggunakan berbagai wasilah. Hamzah Ya’qub membagi wasilah dakwah menjadi lima macam:
a.       Lisan, inilah media dakwah yang yang paling sederhana yang menggunakan lidah dan suara. Media ini dapat berbentuk pidato, ceramah, kuliah, bimbingan, penyuluhan, dan sebagainya.
b.      Tulisan, buku majalah, surat kabar, korespondensi, surat e-mail, spanduk dan lain-lain.
c.       Lukisan, gambar, karikatur dan sebagainya.
d.      Audio visual, yaitu alat dakwah yang dapat merangsang indra pendengaran atau penglihatan dan kedua-duanya, bisa berbentuk televise, slide, internet, dan sebagainya.
e.       Akhlak, yaitu perbuatan-perbuatan nyata yang mencerminkan ajaran Islam, yang dapat, yang dapat dinikmati dan didengarkan oleh mad’u.[23]
5. Uslud Da’wah ( Metode Dakwah )
   Dalam bahasa Arab, al-ushlub identik dengan kata: thariq atau thariqah, yang berarti jalan atau cara. Dalam bahasa Yunani, disebut dengan istilah metode.[24] Metode berasal dari kata methodos artinya jalan. Apabila kita artikan secara bebas metode adalah cara yang telah diatur dan melalui proses pemikiran untuk mencapai sesuatu maksud.[25]
Dari beberapa definisi di atas dapat disimpulkan, metode dakwah (ushub al-da’wah) adalah jalan atau cara yang dipakai oleh juru dakwah untuk menyampaikan materi atau pesan dakwah. Dalam penyampaian suatu materi atau pesan dakwah, metode sangat penting peranannya, karena suatu materi atau  pesan walaupun baik, tetapi disampaikan lewat metode yang tidak benar, maka pesan itu bisa saja ditolak oleh penerima pesan.[26] Maka dari itu, metode dakwah begitu penting peranannya dalam keberhasilan dakwah Islamiyah yang dilaksanakan.
Selanjutnya, ketika berbicara masalah metode dakwah, maka pada umumnya berpedoman metode dakwah ada pada Alquran surah An-Nahl 
Artinya:
 “Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dia-lah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.” (Q.S. An-Nahl: 125)[27]

Ayat Alquran di atas menerangkkan bahwa melaksanakan dakwah Islamiyah dapat dijalankan melalui tiga metode, yakni:
a. Metode hikmah
Hikmah berarti ilmu, filsafat, wisdom, faedah dibalik tabir sesuatu dan bijaksana. Menurut banyak ahli tafsir adalah perkataan yang tegas dan benar yang dapat membedakan antara yang hak dengan yang batil. Dalam kata hikmah juga terkandung makna bijak (wisdom).[28]
Dakwah yang bijak menurut Sayyid Quthub adalah yang memperhatikan situasi dan kondisi dari para mad’u (objek dakwah), sejauh kemampuan daya serap yang mereka miliki. Jangan sampai tugas-tugas yang diberikan diluar kemampuan mad’u. Sebab, kesiapan jiwa masing-masing mad’u berbeda.[29]
Beberapa definisi di atas, maka yang dimaksud dengan dakwah melalui metode hikmah ialah dakwah yang berarti bijak, mempunyai makna dakwah yang memperhatikan suasana, situasi, dan kondisi mad’u serta memperatikan kadar pemikiran dan intelektual, suasana psikologis, maupun situasi sosial cultural masyarakat.
b. Metode mau’idzah al-hasanah
Kata wa’idz pengertiannya lebih dekat kepada makna memberi nasihat atau pelajaran. Imam Al-Asfahani menerangkan bahwa kalimat wa’idz bermakna peringatan yang digabung dengan kabar penakut. Pengertian lain menjelaskan bahwa wa’idz juga bermakna peringatan dengan kebaikan yang bisa menyentuh hati.[30]
Ketika digabung dengan sifat hasanah yang mempunyai makna kebaikan, maka makna mau’idzah hasanah menjadi pelajaran atau nasihat yang baik. Nasihat atau pelajaran yang menyentuh hati.[31] Metode  dakwah dengan cara memberi pelajaran atau nasihat ini dilaksanakan dengan cara lemah lembut agar dapat menyentuh hati mad’u.
Mau’idza al-hasanah sebagai metode dakwah adalah mengajak manusia dengan memberi pelajaran dan nasihat yang baik, yang dapat menyentuh perasaan dan dapat membangkitkan semangat untuk mengamalkan syariat Islam. Aplikasi metode ini, bisa berupa bahasa lisan, tulisan, percontohan atau suri tauladan.[32]
c. Metode mujadalah
Kata mujadalah artinya bantahan, artinya menunjukan agar seorang da’i senantiasa meluruskan pandangan yang salah, dan menolak setiap pendapat yang tidak sejalan dengan Alquran dan Assunnah. Tetapi cara menolaknya harus dengan cara yang cerdas, dalam arti lebih baik dengan cara billati hiya ahsan. Jika tidak, penolakan itu akan menjadi tidak berguna. Bahkan tidak mustahil akan menyebabkan mereka semakin kokoh dengan kebatilan yang mereka tawarkan.[33]
Makna billati hiya ahsan adalah menjauhi perbincangan (debat) yang merendahkan orang lain. Sebab maksud utamanya bukan menjatuhkan atau mengalahkan lawan, melaikan mengantarkan kepada kebenaran.[34] Meluruskan dengan cara yang baik, bukan berarti dengan cara perdebatan yang sifatnya mengalahkan atau melecehkan lawan bicara, maka hendaklah dibicarakan atau diperdebatkan dengan cara yang baik.
Mujadalah sebagai metode dakwah berarti mendakwahi manusia melalui perbincangan, diskusi atau dialog (debat) secara baik berdasarkan etika dan mekanisme diskusi. Prinsip dasar diskusi (debat) menurut ajaran Islam antara lain ialah mempertinggi kualitas argument (misalnya Alquran dan Assunah) dan menghindari sentiment,[35] maka hendaklah dilaksankan dengan penuh kesabaran.
6. Logistik Dakwah
Logistik dakwah maksudnya adalah “ menyangkut pembiayaan dan peralatan dakwah”.[36] Artinya, logistik dakwah ini begitu penting demi kelancaran dakwah yang dilaksankan oleh para juru dakwah ( da’i ). Terlebih lagi apabila dakwah yang dilaksanakan secara besar atau luas.
Untuk tersedianya logistik dakwah yang memadai, maka mestilah dilakukan berbagai hal. Slamet Muhaemin Abda menyarankan hal-hal yang perlu diperhatikan ialah:
a.       Harus ada badan atau organisasi yang khusus menangani dan bertanggung jawab terhadap logistik dakwah.
b.      Badan atau organisasi tertentu harus mengupayakan sikap keterbukaan dengan masyarakat muslim mengingat dana yang dikumpulkan itu sumbernya adalah masyarakat muslim yang tak terhitung jumlahnya.
c.       Badan atau organisasi harus mengupayakan keterbukaan dalam penggunaan dan penyaluran logistik yang tersedia.
d.      Badan atau organisasi tersebut harus membuka kesempatan seluas-luasnya kepada masyarakat yang ingin mengetahui keadaan logistik pada suatu saat.
e.       Harus ada sanksi yang tegas terhadap pengurus yang mengelola logistik jika ia terbukti menyalahgunakan wewenang.
f.       Terhadap pengurus yang memang tenaganya dikhususkan untuk keperluan pengelolaan logistik dakwah haruslah diatur jaminan-jaminannya agar ia tetap bekerja dengan penuh kejujuran dan tanggung jawab demi kelancaran dakwah yang direncakan.[37]


[1] Tata Sukayat, Op. Cit., h. 25.
[2] Muhammad  Munir dan Wahyu Ilahi, Op. Cit., h. 21.
[3] Ibid., h. 22.
[4] Departemen Agama RI, Al-aliyy Al-Quran & Terjemahnya, Op. Cit., h. 338
[5] Hamzah Ya’qub, Publistik Islam ( Bandung: Diponegoro, 1986), h. 38-39.
[6] Tata Sukayat, Op. Cit., h. 28.
[7] Muhammad  Munir dan Wahyu Ilahi, Op. Cit., h. 25.
[8] Moh. Ali Aziz, Ilmu Dakwah, ( Jakarta: Kencana, 2009), h. 318.
[9] Ibid., h. 319.
[10] Muhammad Munir dan Wahyu Ilahi, Op. Cit., h. 24.
[11] Tata Sukayat, Op. Cit., h. 32-33.
[12] Wahyu Ilahi, Komunikasi Dakwah, ( Bandung: Remaja Rosdakarya, 2010), h. 103.
[13]  Muhammad Munir dan Wahyu Ilahi, Op. Cit., h. 26-27.
[14] Tata Sukayat, Op. Cit., h. 33.
[15] Tata Sukayat, Loc. Cit.
[16] Wahyu Ilahi, Op. Cit., h. 20.
[17] Tata Sukayat, Loc. Cit.
[18] Wahyu Ilahi, Komunikasi Dakwah, Op. Cit., h. 20.
[19] Muhammad  Munir dan Wahyu Ilahi, Op. Cit., h. 30-31.
[20] Ibid., h. 32.
[21] Moh. Ali Aziz, Op. Cit., h. 403.
[22] Moh. Ali Aziz, Loc. Cit.
[23] Wahyu Ilahi, Komunikasi Dakwah, Op. Cit., h. 21.
[24] Tata Sukayat,  Op. Cit., h. 33-34.
[25] Munzaier Suparta dan Harjani Hefni, Metode Dakwah ( Jakarta: Kencana, 2003), Cet. 1, h. 7.
[26] Muhammad  Munir dan Wahyu Ilahi, Op. Cit., h. 33.
                [27]  Departemen Agama RI, Al-aliyy Al-Quran & Terjemahnya, Op. Cit, h. 224
[28] Tata Sukayat, Op. Cit., h. 36.
[29] Tata Sukayat, Loc. Cit.
[30] Ibid., h. 40.
[31] Ibid., h. 41.
[32] Ibid., h. 42.
[33] Ibid., h. 43.
[34] Ibid., h. 44.
[35] Ibid., h. 45.
                [36]  Slamet Muhaemin Abda, Prinsip-prinsip Metodologi Dakwah ( Surabaya: Kencana, 1996), h. 54.
                [37]  Ibid., h. 55-56.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar