Unsur-unsur dakwah adalah komponen yang terdapat dalam setiap kegiatan dakwah. Para juru dakwah pada umumnya haruslah mengetahui unsur dakwah sebagai komponen pelaksanaan dakwah. Sedikit banyaknya dapat mempengaruhi kegiatan dakwah dengan mengetahui unsur-unsur dakwah. Unsur-usur dakwah meliputi :
1. Da’i (
Juru Dakwah )
Da’i merupakan
bahasa Arab sebagai isim fa’il dari akar kata da’a – yad’u yang
berarti seorang laki-laki sebagai subjek atau pelaku dalam menjalankan dakwah.
Sedangkan untuk perempuan lazim digunakan istilah da’iyah.[1] Dengan kata lain, da’i adalah orang yang
melaksanakan dakwah baik lisan, tulisan, maupun perbuatan yang dilakukan secara
individu, kelompok, atau lewat organisasi atau lembaga.[2]
Nasaruddin Latief
mendefinsikan bahwa da’i adalah muslim dan muslimat yang menjadikan dakwah
sebagai suatu ibadah pokok bagi tugas ulama. Ahli agama adalah wa’ad, mubaligh mustama’in (juru penerang)
yang menyeru, mengajak, dan memberi pengajaran agama Islam.[3]
Allah
swt memerintahkan Nabi Muhammad
saw untuk berdakwah. Dalam unsur dakwah, Nabi
Muhammad ialah seorang da’i yakni sebagai juru dakwah Islamiyah yang
diperintahkan oleh Allah swt untuk menyampaikan ajaran agama kepada umat beliau.
Hal tersebut terdapat dalam Surah Al-Ahzab
Artinya:
”Hai nabi, Sesungguhnya Kami mengutusmu untuk
Jadi saksi, dan pembawa kabar gemgira dan pemberi peringatan, dan untuk Jadi
penyeru kepada agama Allah dengan izin-Nya dan untuk Jadi cahaya yang
menerangi.(Q.S. Al-Ahzab:45-46)”[4]
Adapun
syarat-syarat menjadi juru dakwah, menurut Hamzah Ya’qub, ialah:
1.
Mengetahui
tentang Alquran dan sunnah Rasul Swt sebagai pokok agama Islam.
2.
Memiliki
pengetahuan Islam berinduk pada alquran dan assunah.
3.
Memiliki
pengetahuan yang menjadi alat kelengkapan dakwah seperti teknik dakwah, ilmu
jiwa, sejarah, perbadingan agama, dan antropologi.
4.
Memahami
bahasa umat yang diajak kepada jalan yang diridhai oleh Allah.
5.
Penyantun
dan lapang dada.
6.
Berani
kepada siapapun dalam menyatakan, membela dan mempertahankan kebenaran.
7.
Memberikan
contoh dalam segala kebajikan.
8.
Berakhlak
yang baik sebagai muslim.
9.
Memiliki
ketahanan mental yang kuat.
10.
Ikhlas
berdakwah kepada Allah, mengikhlaskan amal dakwah semata-mata menuntut
keridhaan Allah.
11.
Mencintai
tugasnya sebagai juru dakwah dan tidak mudah meninggalkan tugas karena pengaruh
keduniaan.[5]
2. Mad’u (
Penerima Dakwah )
Mad’u secara
bahasa merupakan bahasa Arab yang berarti objek dakwah (penerima
dakwah). Secara istilah, menurut al-Bayanuny mad’u adalah objek dakwah,
yaitu menusia secara universal baik jarak dekat maupun jauh, manusia muslim
maupun kafir, baik laki-laki maupun perempuan.[6]
Istilah mad’u sering juga
dikatakan dengan jama’ah, sasaran dakwah, objek dakwah, mitra dakwah dan lain
sebagainya.
Muhammad
Abduh membagi mad’u menjadi tiga golongan, yakni golongan cerdik,
golongan awam, dan golongan yang berbeda dengan golongan cerdik dan awam.
Adapun yang dimaksud dengan golongan-golongan tersebut ialah :
a.
Golongan
cerdik cendikiawan yang cinta kebenaran, dapat berpikir secara kritis, dan
cepat dapat menangkap persoalan.
b.
Golongan
awam, yaitu orang kebanyakan yang belom dapat berpikir secara kritis dan
mendalam, serta belum dapat menangkap pengertian-pengertian yang tinggi.
c.
Golongan
yang berbeda dengan kedua gololongan tersebut, mereka senang membahas sesuatu
tetapi hanya dalam batas tertentu saja, dan tidak mampu membahasnya secara
mendalam.[7]
3. Maudhu Al-Da’wah ( Pesan
Dakwah )
Dalam
ilmu komunikasi pesan dakwah adalah massage, yaitu simbol-simbol. Dalam
literatur berbahasa Arab, pesan dakwah disebut maudhu al-da’wah. Istilah
pesan dakwah dipandang lebih tepat untuk menjelaskan, isi dakwah berupa kata,
gambar, lukisan, dan sebagainya yang diharapkan dapat memberikan pemahaman
bahkan perubahan sikap dan perilaku objek dakwah (mad’u).[8]
Pada
prinsipnya, pesan apapun dapat dijadikan sebagai pesan dakwah selama tidak
bertentangan dengan sumber utamanya, yaitu
Alquran
dan Hadits.
Dengan demikian, semua pesan dakwah yang bertentangan terhadapan alquran dan
hadits
tidak dapat disebut pesan dakwah.[9]
Secara
umum pesan dakwah dapat diklasifikasikan menjadi tiga
permasalahan pokok, yaitu:
a. Masalah akidah
Masalah pokok yang menjadi pesan dakwah adalah akidah Islamiyah.
Aspek akidah ini yang akan membentuk moral (akhlak) manusia. Oleh karena itu,
yang pertama kali dijadikan pesan di dalam dakwah Islamiyah adalah masalah
akidah atau keimanan.[10]
Akidah adalah kepercayaan atau keyakinan yang berada didalam hati.
Sedangkan akidah Islam tauhidullah. Tauhid
pada esensinya dibagi menjadi dua bagian, yaitu: (1) tauhid uluhiyah, yaitu menyakini bahwa Allah Swt adalah
Tuhan Yang Maha Esa yang harus diibadati tanpa mempersekutukan-Nya; dan (2) tawhid
rububiyah, yaitu
menyakini bahwa Allah swt ialah pencipta,
pemilik,
penguasa,
pemimpin
dan pemelihara
alam semesta.[11]
Masalah
akidah yang menjadi pesan utama dakwah ini mempunyai ciri-ciri yang membedakan
dengan kepercayaan lain, yaitu:
1.
Keterbukaan
melalui kesaksian (syahadat). Dengan demikian seorang muslim selalu jelas
identitasnya dan besedia mengakui identitas agama lain.
2.
Cakrawala
yang luas dengan memperkenalkan bahwa Allah swt adalah Tuhan seluruh alam,
bukan Tuhan kelompok atau bangsa tertentu.
3.
Kejelasan
dan kesederhanaan. Seluruh ajaran akidah, baik soal ketuhanan, kerasulan,
ataupun alam gaib sangat mudah untuk dipahami.
4.
Ketuhanan
antara iman dan Islam atau antara iman dan amal perbuatan.[12]
b. Masalah syariah
Pesan dakwah yang berhubungan dengan masalah syariah atau sering
disebut dengan hukum Islam. Syariah ini sangat luas dan mengikat seluruh umat
Islam. Syariat merupakan jantung yang tak bisa dipisahkan dari kehidupan umat
Islam diberbagai penjuru dunia, dan sekaligus merupakan hal yang patut
dibanggakan. Kelebihan dari syariah Islam antara lain, adalah bahwa ia tidak
dimiliki oleh umat-umat yang lain. Syariah ini bersifat universal, yang
menjelaskan hak-hak umat muslim dan nonmuslim, bahkan hak seluruh umat manusia.
Dengan adanya materi syariah ini, maka tatanan sistem dunia akan teratur dan
sempurna.[13]
Pesan dakwah
yang berhubungan dengan masalah syariah terbagi menjadi dua, yakni ibadah dan mu’amalah. Ibadah adalah menyembah Allah Swt dengan
tidak mempersekutukan-Nya yang diwujudkan dalam dua bentuk, yaitu: (1) ibadah mahdlah,
yaitu ibadah yang langsung kepada Allah swt, seperti ibadah sholat, ibadah
haji, ibadah puasa, dan lain sebagainya yang telah ditentukan aturannya dalam
disiplin ilmu fiqih; dan (2) ibadah ghaira mahdlah, yaitu ibadah yang
tidak langsung kepada Allah swt, yakni terkait dengan makhluk Allah, seperti
santunan kepada kaum dhu’afa, gotong-royong membangun jembatan, menjaga
keamanan dan lain sebagainya.[14] Mu’amalah
adalah interaksi dan komunikasi antar sesama
manusia dengan manusia lain sebagai makhluk sosial
dalam kerangka hablu min al-nas hubungan baik antar sesame manusia.[15]
Masalah mu’amalah meliputi: hukum berniaga, hukum nikah, hukum waris, hukum
pidana, hukum Negara, hukum perang dan damai.[16]
c. Masalah Akhlak
Akhlak adalah budi pekerti, adat kebiasaan, perangai, muru’ah
atau thariqah atau sesuatu yang sudah menjadi tabiat. Sedangkan menurut istilah, Ibnu
Miskawih mengatakan akhlak adalah sifat yang tertanam dalam jiwa yang mendorong untuk
melakukan perbuatan tanpa memerlukan pertimbangan.[17]
Pesan dakwah mengenai masalah akhlak meliputi akhlak
kepada Allah Swt, akhlak terhadap manusia, diri sendiri, tetangga, masyarakat,
akhlak terhadap bukan manusia, flora dan fauna, dan sebagainya.[18] Artinya
akhlak bukan hanya terhadap Allah Swt
saja, namun juga terhadap apa-apa yang telah diciptakaannya, termasuk diri
sendiri.
Ajaran akhlak dalam Islam pada dasarnya meliputi kualitas perbuatan
manusia yang merupakan ekspresi dan kondisi kejiwaannya. Akhlak dalam Islam
bukan norma ideal yang tidak dapat diimplementasikan, dan bukan pula sekupulan
etika yang terlepas dari kebaikan norma sejati. Dengan demikian, yang menjadi
materi akhlak dalam Islam adalah mengenai sifat dan kriteria
perbuatan manusia serta berbagai kewajiban yang harus dipenuhinya. Karena semua
manusia harus mempertanggungjawabkan setiap perbuatannya, maka Islam
mengajarkan perbuatan dan kewajiban yang mendatangkan kebahagiaan, bukan
siksaan. Bertolak dari prinsip perbuatan manusia ini, maka materi akhlak
membahas tentang norma luhur yang harus menjadi jiwa dari perbuatan manusia,
serta tentang etika atau tata cara yang harus dipraktikkan dalam perbuatan
manusia sesuai dengan jenis sasarannya.[19]
4. Wasilah Dakwah ( Media
Dakwah )
Wasilah
atau media
dakwah adalah alat yang digunakan untuk menyampaikan materi dakwah (ajaran
Islam) kepada mad’u.[20]
Dalam bahsa Arab media sama dengan wasilah atau bentuk dari bentuk
jamak, wasail yang berarti alat atau perantara.[21]
Ahli komunikasi mengartikan media sebagai alat yang menghubungkan pesan
komunikasi yang disampaikan komunikator kepada komunikan (penerima pesan).[22]
Untuk menyampaikan ajaran Islam kepada umat, dakwah dapat menggunakan
berbagai wasilah. Hamzah Ya’qub membagi wasilah dakwah menjadi
lima macam:
a.
Lisan,
inilah media dakwah yang yang paling sederhana yang menggunakan lidah dan
suara. Media ini dapat berbentuk pidato, ceramah, kuliah, bimbingan,
penyuluhan, dan sebagainya.
b.
Tulisan,
buku majalah, surat kabar, korespondensi, surat e-mail, spanduk dan lain-lain.
c.
Lukisan,
gambar, karikatur dan sebagainya.
d.
Audio
visual, yaitu alat dakwah yang dapat merangsang indra pendengaran atau
penglihatan dan kedua-duanya, bisa berbentuk televise, slide, internet, dan
sebagainya.
e.
Akhlak,
yaitu perbuatan-perbuatan nyata yang mencerminkan ajaran Islam, yang dapat,
yang dapat dinikmati dan didengarkan oleh mad’u.[23]
5. Uslud Da’wah ( Metode
Dakwah )
Dalam bahasa Arab, al-ushlub identik
dengan kata: thariq atau thariqah, yang berarti jalan atau cara.
Dalam bahasa Yunani, disebut dengan istilah metode.[24]
Metode berasal dari kata methodos artinya jalan. Apabila kita artikan
secara bebas metode adalah cara yang telah diatur dan melalui proses pemikiran
untuk mencapai sesuatu maksud.[25]
Dari beberapa definisi di atas dapat disimpulkan, metode dakwah (ushub
al-da’wah) adalah jalan atau cara yang dipakai oleh juru dakwah
untuk menyampaikan materi atau pesan dakwah. Dalam penyampaian suatu materi atau pesan dakwah, metode sangat
penting peranannya, karena suatu materi atau
pesan walaupun baik, tetapi disampaikan lewat metode yang tidak benar,
maka pesan itu bisa saja ditolak oleh penerima pesan.[26]
Maka dari itu, metode dakwah begitu penting peranannya dalam keberhasilan
dakwah Islamiyah yang dilaksanakan.
Selanjutnya,
ketika berbicara masalah metode dakwah, maka pada umumnya berpedoman metode dakwah ada pada Alquran surah
An-Nahl
Artinya:
“Serulah (manusia) kepada
jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka
dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui
tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dia-lah yang lebih mengetahui
orang-orang yang mendapat petunjuk.” (Q.S. An-Nahl: 125)[27]
Ayat
Alquran
di atas menerangkkan bahwa melaksanakan dakwah Islamiyah dapat dijalankan
melalui tiga metode, yakni:
a. Metode hikmah
Hikmah berarti ilmu, filsafat, wisdom, faedah dibalik tabir
sesuatu dan bijaksana. Menurut banyak ahli tafsir adalah perkataan yang tegas
dan benar yang dapat membedakan antara yang hak dengan yang batil. Dalam kata
hikmah juga terkandung makna bijak (wisdom).[28]
Dakwah yang bijak menurut Sayyid Quthub adalah yang
memperhatikan situasi dan kondisi dari para mad’u (objek dakwah), sejauh
kemampuan daya serap yang mereka miliki. Jangan sampai tugas-tugas yang diberikan diluar kemampuan mad’u.
Sebab, kesiapan jiwa masing-masing mad’u berbeda.[29]
Beberapa definisi di atas, maka yang dimaksud dengan
dakwah melalui metode hikmah ialah dakwah yang berarti bijak, mempunyai makna
dakwah yang memperhatikan suasana, situasi, dan kondisi mad’u serta
memperatikan kadar pemikiran dan intelektual, suasana psikologis, maupun
situasi sosial cultural masyarakat.
b. Metode mau’idzah al-hasanah
Kata wa’idz pengertiannya lebih dekat kepada makna
memberi nasihat atau pelajaran. Imam
Al-Asfahani menerangkan bahwa kalimat wa’idz bermakna peringatan yang
digabung dengan kabar penakut. Pengertian lain menjelaskan bahwa wa’idz juga
bermakna peringatan dengan kebaikan yang bisa menyentuh hati.[30]
Ketika digabung dengan sifat hasanah yang
mempunyai makna kebaikan, maka makna mau’idzah hasanah menjadi
pelajaran atau nasihat yang baik. Nasihat
atau pelajaran yang menyentuh hati.[31]
Metode dakwah dengan cara memberi
pelajaran atau nasihat ini dilaksanakan dengan cara
lemah lembut agar dapat menyentuh hati mad’u.
Mau’idza al-hasanah sebagai metode dakwah adalah mengajak manusia dengan
memberi pelajaran dan nasihat yang baik, yang dapat menyentuh perasaan dan
dapat membangkitkan semangat untuk mengamalkan syariat Islam. Aplikasi metode ini, bisa berupa bahasa lisan, tulisan, percontohan
atau suri tauladan.[32]
c. Metode mujadalah
Kata mujadalah artinya bantahan, artinya menunjukan agar
seorang da’i senantiasa meluruskan pandangan yang salah, dan menolak
setiap pendapat yang tidak sejalan dengan Alquran
dan Assunnah.
Tetapi cara menolaknya harus dengan cara yang cerdas, dalam arti lebih baik
dengan cara billati hiya ahsan. Jika tidak, penolakan itu akan menjadi
tidak berguna. Bahkan tidak
mustahil akan menyebabkan mereka semakin kokoh dengan kebatilan yang mereka
tawarkan.[33]
Makna billati hiya ahsan adalah menjauhi perbincangan
(debat) yang merendahkan orang lain. Sebab maksud utamanya
bukan menjatuhkan atau mengalahkan lawan, melaikan mengantarkan kepada
kebenaran.[34]
Meluruskan dengan cara yang baik, bukan berarti dengan cara perdebatan yang
sifatnya mengalahkan atau melecehkan lawan bicara, maka hendaklah dibicarakan
atau diperdebatkan dengan cara yang baik.
Mujadalah sebagai
metode dakwah berarti mendakwahi manusia melalui perbincangan, diskusi atau
dialog (debat) secara baik berdasarkan etika dan mekanisme diskusi. Prinsip
dasar diskusi (debat) menurut ajaran Islam antara lain ialah mempertinggi
kualitas argument (misalnya Alquran dan Assunah)
dan menghindari sentiment,[35]
maka hendaklah dilaksankan dengan penuh kesabaran.
6.
Logistik Dakwah
Logistik
dakwah maksudnya adalah “ menyangkut pembiayaan dan peralatan dakwah”.[36]
Artinya, logistik dakwah ini begitu penting demi kelancaran dakwah yang
dilaksankan oleh para juru dakwah ( da’i ). Terlebih lagi apabila dakwah
yang dilaksanakan secara besar atau luas.
Untuk
tersedianya logistik dakwah yang memadai, maka mestilah dilakukan berbagai hal.
Slamet Muhaemin Abda menyarankan hal-hal yang perlu diperhatikan ialah:
a.
Harus
ada badan atau organisasi yang khusus menangani dan bertanggung jawab terhadap
logistik dakwah.
b.
Badan
atau organisasi tertentu harus mengupayakan sikap keterbukaan dengan masyarakat
muslim mengingat dana yang dikumpulkan itu sumbernya adalah masyarakat muslim
yang tak terhitung jumlahnya.
c.
Badan
atau organisasi harus mengupayakan keterbukaan dalam penggunaan dan penyaluran
logistik yang tersedia.
d.
Badan
atau organisasi tersebut harus membuka kesempatan seluas-luasnya kepada
masyarakat yang ingin mengetahui keadaan logistik pada suatu saat.
e.
Harus
ada sanksi yang tegas terhadap pengurus yang mengelola logistik jika ia
terbukti menyalahgunakan wewenang.
f.
Terhadap pengurus yang memang tenaganya dikhususkan untuk keperluan
pengelolaan logistik dakwah haruslah diatur jaminan-jaminannya agar ia tetap
bekerja dengan penuh kejujuran dan tanggung jawab demi kelancaran dakwah yang
direncakan.[37]
[1]
Tata Sukayat, Op. Cit., h. 25.
[2]
Muhammad Munir dan Wahyu Ilahi, Op.
Cit., h. 21.
[3] Ibid.,
h. 22.
[6]
Tata Sukayat, Op. Cit., h. 28.
[7]
Muhammad Munir dan Wahyu Ilahi, Op.
Cit., h. 25.
[9] Ibid.,
h. 319.
[10] Muhammad
Munir dan Wahyu Ilahi, Op. Cit., h. 24.
[11] Tata
Sukayat, Op. Cit., h. 32-33.
[13] Muhammad Munir dan Wahyu Ilahi, Op. Cit.,
h. 26-27.
[14] Tata Sukayat, Op.
Cit., h. 33.
[15] Tata Sukayat, Loc.
Cit.
[16] Wahyu Ilahi, Op.
Cit., h. 20.
[17] Tata Sukayat, Loc.
Cit.
[18]
Wahyu Ilahi, Komunikasi Dakwah, Op. Cit., h. 20.
[19]
Muhammad Munir dan Wahyu Ilahi, Op.
Cit., h. 30-31.
[20] Ibid., h. 32.
[21] Moh. Ali Aziz, Op.
Cit., h. 403.
[22] Moh. Ali Aziz, Loc.
Cit.
[23] Wahyu Ilahi,
Komunikasi Dakwah, Op. Cit., h. 21.
[26]
Muhammad Munir dan Wahyu Ilahi, Op.
Cit., h. 33.
[28] Tata Sukayat, Op.
Cit., h. 36.
[29] Tata Sukayat, Loc.
Cit.
[30] Ibid.,
h. 40.
[31] Ibid., h. 41.
[32] Ibid., h. 42.
[33] Ibid.,
h. 43.
[34] Ibid.,
h. 44.
[35] Ibid.,
h. 45.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar