Oleh : Dr. Mohammad Effendy, SH., MH.
I.
Kondisi Sosial Politik.
Era reformasi yang ditandai dengan
jatuhnya rezim ordebaru setelah berkuasa lebih dari tiga dasawarsa memberi
harapan baru bagi bangsa Indonesia untuk memulai melakukan pembenahan dan
perubahan secara menyeluruh. Jargon
reformasi yang sangat terkenal ketika itu adalah upaya melakukan perubahan
bidang politik, ekonomi dan hukum.
Perubahan bidang politik ditandai dengan
keluarnya paket undang-undang, yakni; Unang-Undang No. 2 Tahun 1999 tentang
Partai Politik, Undang-Undang No. 3 Tahun 1999 tentang pemilihan Umum, dan
Undang-Undang No. 4 Tahun 1999 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR dan DPRD.
Perubahan
bidang Ekonomi ditandai dengan keluarnya beberapa undang-undang antara
lain adalah; Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 tentang Perbankan sebagai
perubahan dari Undang-Undang No 7 Tahun 1992.
Undang-Undang No. 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia sebagai perubahan
dari Undang-Undang No. 13 Tahun 1968.
Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrasi dan Alternatif
Penyelesaian Sengketa. Undang-Undang No.
5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaiangan Usaha Tidak
Sehat. Undang-Undang No. 28 Tahun 1999
tentang Penyelenggara Negara Yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolosi dan
Nepotisme.
Sementara perubahan bidang hukum ditandai
dengan langkah yang sangat drastis yakni melakukan perubahan sebanyak 4 kali
terhadap UUD 1945. Salah satunya adalah
penyempurnaan Pasal 28 UUD 1945 yang memuat tambahan daftar Hak Asasi Manusia
(HAM). Sebelum amandemen terhadap UUD
1945 telah didahului dengan lahirnya Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang
HAM disusul dengan lahirnya Undang-Undang No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan
HAM Berat.
Arah
politik hukum reformasi yang ingin dikembangkan adalah meliputi beberapa hal
antara lain; (1) Reorientasi kelembagaan yang ditandai dengan amandemen UUD
1945 sebanyak 4 kali, (2) Memperkuat posisi lembaga DPR, (3) Peningkatan peran
dan fungsi Partai Politik, (4) Perbaikan penyelenggaraan Pemilihan Umum, (5) Pemberian
otonomi yang luas kepada Daerah, (6) Penerapan prinsip-prinsip Good Governance. (7) Pemberantasan Korupsi,
Kolusi, Nepotisme (KKN), (8) Perubahan mekanisme pemilihan Presiden dan Wakil
Presiden dan juga Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah
Dalam perkembangan selanjutnya, ternyata semangat
reformasi kian waktu makin memudar.
Penurunan semangat reformasi mulai dirasakan pada ujung pemerintahan
periode kedua Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dengan Wapresnya Boediono. Kondisi penurunan semangat reformasi lebih
diperparah dengan penyelenggaraan pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah
secara langsung yang pada awalnya diharapkan memacu perkembangan demokrasi, tapi
kemudian yang terjadi adalah sebaliknya.
Muncul kepala daerah dan wakil kepala daerah terpilih yang didukung oleh
penyandang dana dari kalangan pengusaha-pengusaha besar. Dampaknya adalah kebijakan Kepala Daerah telah tersandera oleh kepentingan penyandang dana, sehingga tidak lagi berpihak kepada kepentingan
masyarakat.
Keterlibatan para pengusaha besar dalam
pemilihan kepala daerah/Wakil Kepala Daerah kemudian merambat kepada pemilihan
kepemimpinan nasional, yakni pemilihan presiden dan wakil presiden. Terpilihnya pasangan Joko Widodo dan Yusuf
Kalla pada pemilu Presiden dan Wakil Presiden Tahun 2014 tidak dapat dilepaskan dari adanya kekuatan
besar yang berada di belakang mereka.
Keadaan yang demikian terus berlanjut dalam Pilpres Tahun 2019 dengan
terpilihnya kembali Patahana Joko Widodo yang berpasangan dengan Ma’ruf Amin.
Sulit dipungkiri bahwa penyelenggaraan
pemerintahan sekarang ini berada di bawah pengaruh dua kekuatan oligarki, yakni
kekuatan oligarki ekonomi dan kekuatan oligarki politik. Dua kekuatan oligarki tersebut telah menyatu
dalam suatu konspirasi yang saling menguntungkan. Oligarki politik telah memerankan dirinya
sebagai pemberi legitimasi dalam berbagai produk hukum dan kebijakan publik
yang membuka akses bagi pengembangan oligarki ekonomi.
Kuatnya kekuatan oligarki politik dan
ekonomi Nampak terlihat saat lahirnya produk hukum yang mendapat reaksi keras
dari berbagai elemen masyarakat yakni; Undang-Undang Cipta Kerja yang dikenal
dengan sebutan Omnibus Law. Istilah Omnibus Law dan sering juga disebut Omnibus Bill sebenarnya merupakan
tradisi di negara yang menganut aliran common
law – Anglo Saxon, seperti Amerika Serikat yang berisi berbagai pengaturan
dan digabung dalam satu produk hukum.
Gagasan untuk membuat produk hukum dalam
bentuk “Omnibus Law Cipta Kerja” didasarkan
kepada pemikiran bahwa secara faktual
kondisi yang terjadi di Negara kita adalah tumpang tindihnya regulasi, sehingga
perlu ada upaya untuk memangkas birokrasi yang selama ini dinilai menghambat
pelaksanaan kebijakan dalam penyelenggaraan pemerintahan. Meskipun demikian, para pengkritik menilai
bahwa inisiatif untuk melahirkan “Omnibus Law Cipta Kerja” tidak sekedar
memangkas jaringan birokrasi, tetapi ada kepentingan konglemerasi yang
tersembunyi di balik semua kebijakan tersebut.
Indikasi adanya kepentingan konglemerasi
terlihat dalam proses penyusunan naskah akademik dan RUU yang dianggap tidak
transparan, pembahasan di DPR yang begitu tergesa-gesa tanpa melakukan uji
publik yang optimal, serta adanya perbedaan draft naskah yang satu dengan draft
naskah yang lain. Oleh karena itu ketika Rancangan Undang-Undang
Omnibus Law Cipta Kerja sedang dalam
proses pembahasan di DPR terjadi reaksi
penolakan yang sangat kuat dari berbagai elemen masyarakat baik di Pusat maupun
di Daerah. Akan tetapi meski reaksi
penolakan begitu kuat, namun pada akhirnya ia tetap disahkan menjadi
Undang-Undang yang sekarang dikenal sebagai Undang-Undang No.11 Tahun 2020
tentang Cipta Kerja.
Dalan bagian konsideran disebutkan, bahwa
dengan cipta kerja diharapkan mampu menyerap tenaga kerja Indonesia yang
seluas-luasnya di tengah persaingan yang semakin kompetitif dan tuntutan
globalisasi ekonomi. Selanjutnya
disebutkan, bahwa untuk mendukung cipta kerja diperlukan penyesuaian berbagai
aspek pengaturan yang berkaitan dengan kemudahan, perlindungan, dan
pemberdayaan koperasi dan usaha mikro, kecil dan menengah, peningkatan
ekosistem investasi, dan percepatan proyek strategis nasional, termasuk
peningkatan perlindungan dan kesejahteraan pekerja.
RUU Cita Kerja yang dalam proses pembuatan
dan pembahasannya mendapat reaksi dan penolakan kuat dari masyarakat, dalam
perkembangannya beberapa elemen masyarakat kemudian mengajukan permohonan untuk
pengujian formil dan masuk dalam register kepanitraan MK di bawah Nomor :
91/PUU-XVIII/2020. Amar Putusan Mahkamah
Konstitusi menyebutkan :
Dalam
Pokok Permohonan.
1.
Menyatakan permohonan Pemohon I dan
Pemohon II tidak dapat diterima.
2.
Mengabulkan permohonan Pemohon III,
Pemohon IV, Pemohon V dan Pemohon VI untuk sebagian.
3.
Menyatakan pembentukan Undang-Undang Nomor
11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2020 Nomor 245, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6573)
bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan
tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak
dimaknai “tidak dilakukan perbaikan dalam waktu 2 (dua) tahun sejak putusan ini
diucapkan.
4.
Menyatakan Undang-Undang Nomor 11 Tahun
2020 tentang Cipta Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor
245, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6573) masih tetap
berlaku sampai dengan dilakukannya perbaikan pembentukan sesuai dengan tenggang
waktu sebagaimana yang telah ditentukan dalam putusan ini.
5.
Memerintahkan kepada pembentuk
undang-undang untuk melakukan perbaikan dalam jangka waktu palijng lama 2 (dua)
tahun sejak putusan ini diucapkan dan apabila dalam tenggang waktu tersebut
tidak dilakukan perbaikan maka Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta
Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 245, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6573) menjadi inkonstitusional secara
permanen.
6.
Menyatakan apabila dalam tenggang waktu 2
(dua) tahun pembentuk undang-undang tidak dapat menyelesaikan perbaikan
Undang-Undang Noo 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2020 Nomor 245, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 6573), maka undang-undang atau pasal-pasal atau materi muatan
undang-undang yang telah dicabut atau diubah oleh Undang-Undang Noo 11 Tahun
2020 tentang Cipta Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor
245, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6573) dinyatakan berlaku
kembali.
7.
Menyatakan untuk menangguhkan segala
tindakan/kebijakan yang bersifat strategis dan berdampak luas, serta tidak
dibenarkan pula menerbitkan peraturan pelaksana baru yang berkaitan dengan
Undang-Undang Noo 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2020 Nomor 245, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 6573).
8.
Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam
Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya.
9.
Menolak permohonan para Pemohon untuk
selain dan selebihnya.
Salah satu maksud terselubung dalam materi
UU Cipta Kerja adalah kebijakan untuk melakukan sentralisasi kekuasaan karena
adanya penarikan kewenangan yang tadinya merupakan kewenangan Daerah kemudian
diubah menjadi kewenangan Pemerintah Pusat. Implikasi sosial dan politik akibat
penerapan pola sentralisasi antara lain
dapat dikemukakan :
-
Meski masyarakat berada dalam
ketidakberdayaan untuk melakukan perlawanan, namun perlu diingatkan bahwa
gejolak sosial akan terjadi ketika masyaraka berada pada titik
terendahnya. Bahkan pada kondisi
masyarakat seperti itu tingkat gerakannya dapat di luar kendali dan hal ini
akan mengarah kepada konflik sosial baik secara horizontal maupun antara warga
masyarakat dengan aparat pemerintah.
-
Dalam kondisi bangsa kita seperti sekarang
ini, gejolak sosial dapat terjadi secara bersamaan dan/atau secara beriringan
antar daerah yang satu dengan daerah yang lain.
Kondisi seperti yang kita khawatirkan tersebut sangat berbahaya bagi
keutuhan NKRI.
-
Kekhawatiran tersebut semakin terlihat
saat partai-partai politik juga sudah menerapkan pola sentralisasi yang begitu
kuat, sehingga ketika parpol dimaksud sudah menjadi bagian dari Pemerintah maka
fungsi kontrolnya kian melemah. Pada kondisi seperti ini maka fungsi parpol
sebagai pengendali aspirasi tidak berjalan optimal. Sementara itu parpol di tingkat Daerah tidak
memiliki kewenangan yang cukup untuk melakukan fungsi pengendali aspirasi
sesuai dengan kebutuhan dan tuntutan masyarakat lokal.
-
Ketidak berdayaan dan/atau ketidak
pedulian Pemerintah Daerah untuk melindungi kepentingan warganya merupakan
embrio timbulnya sikap apatis masyarakat dan hal ini merupakan api dalam sekam
yang sangat berbahaya jika tidak secepatnya ditanggulangi secara bersama-sama.
II.
Ummat
Islam Dalam Konsetelasi Politik.
A.
Sekilas tinjauan historis.
Upaya untuk mengangkat nasib ummat (Islam)
telah dirintis melalui organisasi modern yang berbasis sosial keagamaan yakni
dengan lahirnya Muhammadiyah (1912) dan Nahdhatul Ulama – NU (1926) di
samping beberapa organisasi keagamaan
lainnya seperti Persis dan lain-lain.
Sementara melalui jalur politik telah dimulai dengan lahirnya Serikat
Dagang Islam (SDI) yang kemudian berubah
menjadi organisasi politik yakni Partai Serikat Islam Indonesia (PSII).
Secara sosial historis telah terjadi
polarisasi di kalangan ummat Islam Indonesia terkait dengan tradisi pengamalan
ritual agama yag didasarkan kepada aliran mazhab. Ternyata polarisasi ini memiliki implikasi
yang sangat besar terhadap pilihan warga untuk menentukan hak politiknya. Partai Masyumi harus merelakan warga
Nahdiyyin untuk membentuk partai sendiri dalam Pemilu pertama Tahun 1955. Namun demikian karena para pimpinan partai
terdiri atas orang-orang yang memiliki kapabilitas disertai dengan sikap dan
pemikiran yang terbuka, maka perbedaan wadah politik pada waktu itu tidak
menghambat mereka untuk berjuang bersama di Majelis Konstituante.
Ketika Masyumi dibubarkan oleh Presiden
Soekarno dan tidak mendapat dukungan untuk direhabilitasi di era ordebaru, maka
wadah baru Parmusi tidak cukup kuat dan tidak memiliki representasi yang
memadai untu menampung bekas aktivis Masyumi – dan keadaan ini memang rekayasa
politik ordebaru. Kekosongan wadah
politik bagi ummat Islam terus berlanjut saat keluar kebijakan penyederhaan
partai politik melalui fusi partai yang didasarkan kepada aliran agama dan
nasionalis – yang kemudian melahirkan Partai Persatuan Pembangunan (PPP) yang
dianggap representasi dari golongan Islam, sementara Partai Demokrasi Indonesia (PDI) dianggap
representasi dari golongan nasionalis sekuler, ditambah dengan Partai
Pemerintah yakni Golongan Karya (Golkar).
Keadaan ini terus berlanjut sampai rezim
ordebaru tumbang dengan lahirnya era reformasi.
Akan tetapi meski era reformasi memberi peluang yang sangat terbuka,
namun tetap saja beban polarisasi tidak dapat dihilangkan, bahkan lebih
meluas. Tokoh-tokoh baru yang memiliki
ikatan bathin dengan Masyumi mendeklarasikan Partai Bulan Bintang (PBB), warga
yang memiliki hubungan emosional dengan Muhammadiyah mendirikan Partai Amanat
Nasional (PAN), sementara warga Nahdiyyin bergabung dengan Partai Kebangkitan
Bangsa (PKB), sementara warga muslim yang mencoba bersikap “netral mazhab” ikut dalam Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dan
seterusnya – sebuah kondisi politik yang tetap sulit untuk menyatukan aspirasi
ummat dalam suatu wadah perjuangan bersama.
Hasil Pemilu pasca reformasi (2004 sd
2019) memberikan petunjuk yang cukup jelas bahwa Partai-Partai yang memiliki
bendera “Islam” tidak berhasil masuk dalam jajaran Partai Politik papan atas
dalam perolehan suara dan kursi di DPR RI.
Bahkan, sekiranya jumlah perolehan kursi partai politik yang berbendara
“Islam” di gabung tetap saja tidak dapat mengimbangi kekuatan partai politik
papan atas, sehingga suara mereka tidak dapat secara signifikan mempengaruhi
proses pengambilan keputusan dalam kebijakan politik nasional.
B.
Problema
Ummat
sebenarnya perbedaan wadah perjuangan secara politik
tidak menjadi problem jika semuanya memiliki visi dan misi perjuangan yang sama
yakni memadukan visi dan misi kebangsaan dengan visi dan misi nilai-nilai
agama. Akan tetapi tokoh-tokoh politisi
kalangan Islam tetap dalam perbedaan mengenai persepsi pemaduan antara aspek
kebangsaan dan aspek agama, sehingga ada sekelompok yang tetap berjuang
mengangkat formalisasi agama dengan segala symbol-symbolnya, sementara kelompok
lainnya ingin mengangkat dan lebih mengedepankan nilai-nilai agama secara
substansial.
Problem sangat serius yang dihadapi oleh partai dan
politisi Islam adalah keterbatasan kader
yang handal dengan pemikiran intelektual yang mumpuni serta memiliki kapabilitas
yang tinggi sehingga dapat menawarkan gagasan-gagasan besar, ide-ide cemerlang
sebagai alternatif dan solusi persoalan sosial kemasyarakatan di tengah kondisi
bangsa yang kian terpuruk baik secara internal maupun dalam interaksi global.
Kondisi ummat lebih diperparah lagi karena kita tidak
memiliki figur sentral yang lahir dan dibesarkan di luar sekat-sekat
polarisasi. Meski sebenarnya kita
memiliki tokoh-tokoh netral, namun tetap saja tokoh-tokoh netral tersebut
dianggap dekat dan/atau dianggap bagian dari kelompok tertentu yang masuk dalam
lingkaran polarisasi. Akibatnya,
pemikiran tokoh-tokoh netral tersebut mendapat hambatan untuk menjadi referensi
bersama.
Walaupun demikian masih banyak tokoh-tokoh Muslim yang
memiliki pemikiran dan gagasan besar namun mereka berjuang melalui jalur lain
bukan jalur politik. Akan tetapi sangat
disayangkan tokoh-tokoh kita ini tidak mendapat dukungan secara politik karena
gagasannya tidak mencerminkan formalisasi agama yang menjadi modal pencitraan.
Bahkan, gagasan yang mereka lontarkan sering dianggap berseberangan dan terkadang disebut “pikiran liberal”.
Fakta lain yang juga sangat memprihatinkan adalah;
kegiatan politik bagi para “politisi Islam” tidak dimaksudkan sebagai sarana
perjuangan untuk memperbaiki nasib ummat, tetapi semata-mata sebagai
“pekerjaan” seperti layaknya profesi lain.
Keadaan yang demikian tentu membawa kepada situasi yang tidak kondusif,
karena mereka berada dalam situasi yang rentan terhadap godaan.
Kita merindukan suara lantang dari politisi parpol
“Islam” yang memberikan krtikan tajam terhadap suatu kebijakan pemerintah yang
dapat merugikan kepentingan masyarakat luas, tapi kritikan dimaksud disertai
dengan analisis yang komprehensif
berdasarkan agumentasi ilmiah. Ruang persidangan DPR terasa sunyi dengan
perdebatan yang berisi uraian analisis yang sarat dengan referensi mengenai
kondisi sosial politik serta kehidupan berbangsa dan bernegara sebagaimana
pernah dilakukan politisi angkatan pertama di negeri ini.
Perjuangan Ummat Islam melalui jalur politik nampaknya
masih memerlukan waktu yang panjang untuk dapat menyatukan visi dan misi
segenap elemen masyarakat muslim yang secara historis telah mengalami
polarisasi terutama dalam perbedaan mazhab.
Meski perbedaan yang terjadi lebih banyak bidang mazhab fiqh, tapi nampaknya membawa dampak
yang cukup besar dalam penyatuan visi politik.
Oleh karena itu program jangka panjang yang perlu
dilakukan adalah materi da’wah yang disampaikan oleh para aktivis da’i sebaiknya
lebih mengarah kepada perbaikan kehidupan sosial ekonomi ummat serta membangun
interaksi antar saudara sebangsa menuju ke arah yang lebih kondusif Sekiranya ummat memerlukan uraian yang
berkaitan dengan bimbingan dan pelaksanaan ritual keagamaan, maka jawaban yang
disampaikan adalah petikan pendapat ulama dari berbagai mazhab tanpa harus
menyatakan mazhab mana yang dianggap benar.
Ummat sebaiknya kita berikan keyakinan bahwa para
Ulama dari berbagai mazhab itu ketika menyatakan pendapatnya setelah melalui
kajian mendalam terhadap sekian banyak referensi keagamaan, melakukan
perbandingan serius dari pendapat guru-guru mereka, sehingga pendapat dan
ijtihad yang sampai kepada kita insya Allah dapat diikuti.
Ummat harus diberikan penyadaran bahwa perbedaan pandangan
nilai-nilai keagamaan terlebih lagi dalam “mazhab fiqh” tidak perlu menjadi
perdebatan panjang. Semua aliran mazhab
fiqh memiliki kelebihannya sendiri-sendiri, dan silahkan ummat menentukan
pilihannya tanpa ketakutan yang berlebihan karena melakukan kesalahan. Islam adalah agama yang mudah dipahami dan
dilaksanakan, dan nilai-nilai yang terkandung di dalam ajarannya berisikan
nilai-nilai universal untuk kemanusiaan.
Banjarmasin, 06 Maret 2022
CURRICULUM VITAE
1. N a m a : Dr. H. MOHAMMAD EFFENDY, SH.,MH.
2. N I P : 19580320
198503 1 001
3. Tempat & tgl lahir : Barabai, 20 Maret 1958
4. Pekerjaan : Dosen Fakultas Hukum
ULM
5. Pangkal/Gol. : Pembina Utama Muda – IV/C
6. Pendidikan :
a. Fakultas Hukum Unlam (S1) Tamat Tahun 1983
b. Pascasarjana (S2) Bidang Kajian Tata Negara/ Unpad Bandung Tahun
1996;
c. Program Doktor (S3) Bidang Kajian Tata Negara Unpad Bandung 2011.
7. Pengalaman pelatihan/training/Konferensi
Internasional
:
a.
Training for Management Universities
di Utrech University – Belanda December 2014.
b.
Training for Management
Universities di New Castile University – Australia May,
2015.
c.
Overseas Non Degree
Training/Staff Development Project IDB 7in1 “Learning Program On strategic
Leadership and Governance for College Deans and Vice Rector of Lambung
Mangkurat University, di Manila – Philipina, November. 2016.
d.
Joint Working for Indonesia and
France di
Prancis – April 2016
e.
International Seminar – Research on
Indonesia’s Legal System - Leiden Law School of Leiden University –
Belanda, May, 2018.
8.
Pengalaman Pekerjaan.
a. Sekretaris Jurusan Hukum Tata Negara
(1990)
b. Ketua Jurusan Hukum Tata Negara (1997)
c. Pembantu Dekan II (2000 – 2003)
d. Ketua Pusat Studi Hak Asasi Manusia Unlam (sampai sekarang)
e. Anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kalimantan Selatan 2003-2008
f. Anggota Tim Fasilitator Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) 2007/2008;
g. Pengajar Hukum Administrasi Badan Diklat Pemerintah Provinsi KalSel.
h. Tim
Ahli/Konsultan Perancangan Peraturan Daerah dan Produk Hukum Daerah;
i.
Wakil Ketua Majelis Kehormatan Notaris Wilayah Kalsel (2015 – 2018)
j. Dekan Fakultas Hukum ULM 2014 - 2018
Banjarmasin, Maret 2022
Yang membuat
Dr.
MOHAMMAD EFFENDY, SH., MH.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar