Langsung ke konten utama

POSISI DAN KONDISI UMMAT ISLAM DALAM KONSETELASI POLITIK NASIONAL



 

Oleh : Dr. Mohammad Effendy, SH., MH.

 

I.         Kondisi Sosial Politik.

Era reformasi yang ditandai dengan jatuhnya rezim ordebaru setelah berkuasa lebih dari tiga dasawarsa memberi harapan baru bagi bangsa Indonesia untuk memulai melakukan pembenahan dan perubahan secara menyeluruh.  Jargon reformasi yang sangat terkenal ketika itu adalah upaya melakukan perubahan bidang  politik, ekonomi dan hukum.

Perubahan bidang politik ditandai dengan keluarnya paket undang-undang, yakni; Unang-Undang No. 2 Tahun 1999 tentang Partai Politik, Undang-Undang No. 3 Tahun 1999 tentang pemilihan Umum, dan Undang-Undang No. 4 Tahun 1999 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR dan DPRD.

Perubahan  bidang Ekonomi ditandai dengan keluarnya beberapa undang-undang antara lain adalah; Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 tentang Perbankan sebagai perubahan dari Undang-Undang No 7 Tahun 1992.  Undang-Undang No. 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia sebagai perubahan dari Undang-Undang No. 13 Tahun 1968.  Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrasi dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.  Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaiangan Usaha Tidak Sehat.  Undang-Undang No. 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara Yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolosi dan Nepotisme.

Sementara perubahan bidang hukum ditandai dengan langkah yang sangat drastis yakni melakukan perubahan sebanyak 4 kali terhadap UUD 1945.  Salah satunya adalah penyempurnaan Pasal 28 UUD 1945 yang memuat tambahan daftar Hak Asasi Manusia (HAM).  Sebelum amandemen terhadap UUD 1945 telah didahului dengan lahirnya Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang HAM disusul dengan lahirnya Undang-Undang No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM Berat.

Arah politik hukum reformasi yang ingin dikembangkan adalah meliputi beberapa hal antara lain; (1) Reorientasi kelembagaan yang ditandai dengan amandemen UUD 1945 sebanyak 4 kali, (2) Memperkuat posisi lembaga DPR, (3) Peningkatan peran dan fungsi Partai Politik, (4) Perbaikan penyelenggaraan Pemilihan Umum, (5) Pemberian otonomi yang luas kepada Daerah, (6) Penerapan prinsip-prinsip Good Governance. (7) Pemberantasan Korupsi, Kolusi, Nepotisme (KKN), (8) Perubahan mekanisme pemilihan Presiden dan Wakil Presiden dan juga Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah

Dalam perkembangan selanjutnya, ternyata semangat reformasi kian waktu makin memudar.  Penurunan semangat reformasi mulai dirasakan pada ujung pemerintahan periode kedua Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dengan Wapresnya Boediono.  Kondisi penurunan semangat reformasi lebih diperparah dengan penyelenggaraan pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah secara langsung yang pada awalnya diharapkan memacu perkembangan demokrasi, tapi kemudian yang terjadi adalah sebaliknya.  Muncul kepala daerah dan wakil kepala daerah terpilih yang didukung oleh penyandang dana dari kalangan pengusaha-pengusaha besar.  Dampaknya adalah  kebijakan Kepala Daerah telah tersandera  oleh kepentingan penyandang dana, sehingga  tidak lagi berpihak kepada kepentingan masyarakat.

Keterlibatan para pengusaha besar dalam pemilihan kepala daerah/Wakil Kepala Daerah kemudian merambat kepada pemilihan kepemimpinan nasional, yakni pemilihan presiden dan wakil presiden.  Terpilihnya pasangan Joko Widodo dan Yusuf Kalla pada pemilu Presiden dan Wakil Presiden Tahun 2014  tidak dapat dilepaskan dari adanya kekuatan besar yang berada di belakang mereka.  Keadaan yang demikian terus berlanjut dalam Pilpres Tahun 2019 dengan terpilihnya kembali Patahana Joko Widodo yang berpasangan dengan Ma’ruf Amin.

Sulit dipungkiri bahwa penyelenggaraan pemerintahan sekarang ini berada di bawah pengaruh dua kekuatan oligarki, yakni kekuatan oligarki ekonomi dan kekuatan oligarki politik.  Dua kekuatan oligarki tersebut telah menyatu dalam suatu konspirasi yang saling menguntungkan.  Oligarki politik telah memerankan dirinya sebagai pemberi legitimasi dalam berbagai produk hukum dan kebijakan publik yang membuka akses bagi pengembangan oligarki ekonomi.

Kuatnya kekuatan oligarki politik dan ekonomi Nampak terlihat saat lahirnya produk hukum yang mendapat reaksi keras dari berbagai elemen masyarakat yakni; Undang-Undang Cipta Kerja yang dikenal dengan sebutan  Omnibus Law.  Istilah Omnibus Law dan sering juga disebut Omnibus Bill sebenarnya merupakan tradisi di negara yang menganut aliran common law – Anglo Saxon, seperti Amerika Serikat yang berisi berbagai pengaturan dan digabung dalam satu produk hukum.

Gagasan untuk membuat produk hukum dalam bentuk “Omnibus Law Cipta Kerja” didasarkan kepada pemikiran  bahwa secara faktual kondisi yang terjadi di Negara kita adalah tumpang tindihnya regulasi, sehingga perlu ada upaya untuk memangkas birokrasi yang selama ini dinilai menghambat pelaksanaan kebijakan dalam penyelenggaraan pemerintahan.  Meskipun demikian, para pengkritik menilai bahwa inisiatif untuk melahirkan  Omnibus Law Cipta Kerja” tidak sekedar memangkas jaringan birokrasi, tetapi ada kepentingan konglemerasi yang tersembunyi di balik semua kebijakan tersebut. 

Indikasi adanya kepentingan konglemerasi terlihat dalam proses penyusunan naskah akademik dan RUU yang dianggap tidak transparan, pembahasan di DPR yang begitu tergesa-gesa tanpa melakukan uji publik yang optimal, serta adanya perbedaan draft naskah yang satu dengan draft naskah yang lain.   Oleh karena itu ketika Rancangan Undang-Undang Omnibus Law Cipta Kerja sedang dalam proses pembahasan di DPR terjadi  reaksi penolakan yang sangat kuat dari berbagai elemen masyarakat baik di Pusat maupun di Daerah.  Akan tetapi meski reaksi penolakan begitu kuat, namun pada akhirnya ia tetap disahkan menjadi Undang-Undang yang sekarang dikenal sebagai Undang-Undang No.11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.

Dalan bagian konsideran disebutkan, bahwa dengan cipta kerja diharapkan mampu menyerap tenaga kerja Indonesia yang seluas-luasnya di tengah persaingan yang semakin kompetitif dan tuntutan globalisasi ekonomi.  Selanjutnya disebutkan, bahwa untuk mendukung cipta kerja diperlukan penyesuaian berbagai aspek pengaturan yang berkaitan dengan kemudahan, perlindungan, dan pemberdayaan koperasi dan usaha mikro, kecil dan menengah, peningkatan ekosistem investasi, dan percepatan proyek strategis nasional, termasuk peningkatan perlindungan dan kesejahteraan pekerja.

RUU Cita Kerja yang dalam proses pembuatan dan pembahasannya mendapat reaksi dan penolakan kuat dari masyarakat, dalam perkembangannya beberapa elemen masyarakat kemudian mengajukan permohonan untuk pengujian formil dan masuk dalam register kepanitraan MK di bawah Nomor : 91/PUU-XVIII/2020.  Amar Putusan Mahkamah Konstitusi menyebutkan :

Dalam Pokok Permohonan.

 

1.        Menyatakan permohonan Pemohon I dan Pemohon II tidak dapat diterima.

2.        Mengabulkan permohonan Pemohon III, Pemohon IV, Pemohon V dan Pemohon VI untuk sebagian.

3.        Menyatakan pembentukan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 245, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6573) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai “tidak dilakukan perbaikan dalam waktu 2 (dua) tahun sejak putusan ini diucapkan.

4.        Menyatakan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 245, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6573) masih tetap berlaku sampai dengan dilakukannya perbaikan pembentukan sesuai dengan tenggang waktu sebagaimana yang telah ditentukan dalam putusan ini.

5.        Memerintahkan kepada pembentuk undang-undang untuk melakukan perbaikan dalam jangka waktu palijng lama 2 (dua) tahun sejak putusan ini diucapkan dan apabila dalam tenggang waktu tersebut tidak dilakukan perbaikan maka Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 245, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6573) menjadi inkonstitusional secara permanen.

6.        Menyatakan apabila dalam tenggang waktu 2 (dua) tahun pembentuk undang-undang tidak dapat menyelesaikan perbaikan Undang-Undang Noo 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 245, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6573), maka undang-undang atau pasal-pasal atau materi muatan undang-undang yang telah dicabut atau diubah oleh Undang-Undang Noo 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 245, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6573) dinyatakan berlaku kembali.

7.        Menyatakan untuk menangguhkan segala tindakan/kebijakan yang bersifat strategis dan berdampak luas, serta tidak dibenarkan pula menerbitkan peraturan pelaksana baru yang berkaitan dengan Undang-Undang Noo 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 245, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6573).

8.        Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya.

9.        Menolak permohonan para Pemohon untuk selain dan selebihnya.

Salah satu maksud terselubung dalam materi UU Cipta Kerja adalah kebijakan untuk melakukan sentralisasi kekuasaan karena adanya penarikan kewenangan yang tadinya merupakan kewenangan Daerah kemudian diubah menjadi kewenangan Pemerintah Pusat. Implikasi sosial dan politik akibat penerapan  pola sentralisasi antara lain dapat dikemukakan :

-           Meski masyarakat berada dalam ketidakberdayaan untuk melakukan perlawanan, namun perlu diingatkan bahwa gejolak sosial akan terjadi ketika masyaraka berada pada titik terendahnya.  Bahkan pada kondisi masyarakat seperti itu tingkat gerakannya dapat di luar kendali dan hal ini akan mengarah kepada konflik sosial baik secara horizontal maupun antara warga masyarakat dengan aparat pemerintah.

-           Dalam kondisi bangsa kita seperti sekarang ini, gejolak sosial dapat terjadi secara bersamaan dan/atau secara beriringan antar daerah yang satu dengan daerah yang lain.  Kondisi seperti yang kita khawatirkan tersebut sangat berbahaya bagi keutuhan NKRI.

-           Kekhawatiran tersebut semakin terlihat saat partai-partai politik juga sudah menerapkan pola sentralisasi yang begitu kuat, sehingga ketika parpol dimaksud sudah menjadi bagian dari Pemerintah maka fungsi kontrolnya kian melemah. Pada kondisi seperti ini maka fungsi parpol sebagai pengendali aspirasi tidak berjalan optimal.  Sementara itu parpol di tingkat Daerah tidak memiliki kewenangan yang cukup untuk melakukan fungsi pengendali aspirasi sesuai dengan kebutuhan dan tuntutan masyarakat lokal.

-           Ketidak berdayaan dan/atau ketidak pedulian Pemerintah Daerah untuk melindungi kepentingan warganya merupakan embrio timbulnya sikap apatis masyarakat dan hal ini merupakan api dalam sekam yang sangat berbahaya jika tidak secepatnya ditanggulangi secara bersama-sama.

II.      Ummat Islam Dalam Konsetelasi Politik.

 

A.     Sekilas tinjauan historis.

 

Upaya untuk mengangkat nasib ummat (Islam) telah dirintis melalui organisasi modern yang berbasis sosial keagamaan yakni dengan lahirnya Muhammadiyah (1912) dan Nahdhatul Ulama – NU (1926) di samping  beberapa organisasi keagamaan lainnya seperti Persis dan lain-lain.  Sementara melalui jalur politik telah dimulai dengan lahirnya Serikat Dagang Islam (SDI) yang kemudian  berubah menjadi organisasi politik yakni Partai Serikat Islam Indonesia (PSII).

Secara sosial historis telah terjadi polarisasi di kalangan ummat Islam Indonesia terkait dengan tradisi pengamalan ritual agama yag didasarkan kepada aliran mazhab.  Ternyata polarisasi ini memiliki implikasi yang sangat besar terhadap pilihan warga untuk menentukan hak politiknya.  Partai Masyumi harus merelakan warga Nahdiyyin untuk membentuk partai sendiri dalam Pemilu pertama Tahun 1955.  Namun demikian karena para pimpinan partai terdiri atas orang-orang yang memiliki kapabilitas disertai dengan sikap dan pemikiran yang terbuka, maka perbedaan wadah politik pada waktu itu tidak menghambat mereka untuk berjuang bersama di Majelis Konstituante.

Ketika Masyumi dibubarkan oleh Presiden Soekarno dan tidak mendapat dukungan untuk direhabilitasi di era ordebaru, maka wadah baru Parmusi tidak cukup kuat dan tidak memiliki representasi yang memadai untu menampung bekas aktivis Masyumi – dan keadaan ini memang rekayasa politik ordebaru.  Kekosongan wadah politik bagi ummat Islam terus berlanjut saat keluar kebijakan penyederhaan partai politik melalui fusi partai yang didasarkan kepada aliran agama dan nasionalis – yang kemudian melahirkan Partai Persatuan Pembangunan (PPP) yang dianggap representasi dari golongan Islam, sementara  Partai Demokrasi Indonesia (PDI) dianggap representasi dari golongan nasionalis sekuler, ditambah dengan Partai Pemerintah yakni Golongan Karya (Golkar).

Keadaan ini terus berlanjut sampai rezim ordebaru tumbang dengan lahirnya era reformasi.  Akan tetapi meski era reformasi memberi peluang yang sangat terbuka, namun tetap saja beban polarisasi tidak dapat dihilangkan, bahkan lebih meluas.  Tokoh-tokoh baru yang memiliki ikatan bathin dengan Masyumi mendeklarasikan Partai Bulan Bintang (PBB), warga yang memiliki hubungan emosional dengan Muhammadiyah mendirikan Partai Amanat Nasional (PAN), sementara warga Nahdiyyin bergabung dengan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), sementara warga muslim yang mencoba bersikap “netral mazhab”  ikut dalam Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dan seterusnya – sebuah kondisi politik yang tetap sulit untuk menyatukan aspirasi ummat dalam suatu wadah perjuangan bersama.

Hasil Pemilu pasca reformasi (2004 sd 2019) memberikan petunjuk yang cukup jelas bahwa Partai-Partai yang memiliki bendera “Islam” tidak berhasil masuk dalam jajaran Partai Politik papan atas dalam perolehan suara dan kursi di DPR RI.  Bahkan, sekiranya jumlah perolehan kursi partai politik yang berbendara “Islam” di gabung tetap saja tidak dapat mengimbangi kekuatan partai politik papan atas, sehingga suara mereka tidak dapat secara signifikan mempengaruhi proses pengambilan keputusan dalam kebijakan politik nasional.

B.     Problema Ummat

sebenarnya perbedaan wadah perjuangan secara politik tidak menjadi problem jika semuanya memiliki visi dan misi perjuangan yang sama yakni memadukan visi dan misi kebangsaan dengan visi dan misi nilai-nilai agama.  Akan tetapi tokoh-tokoh politisi kalangan Islam tetap dalam perbedaan mengenai persepsi pemaduan antara aspek kebangsaan dan aspek agama, sehingga ada sekelompok yang tetap berjuang mengangkat formalisasi agama dengan segala symbol-symbolnya, sementara kelompok lainnya ingin mengangkat dan lebih mengedepankan nilai-nilai agama secara substansial.

Problem sangat serius yang dihadapi oleh partai dan politisi Islam adalah keterbatasan kader  yang handal dengan pemikiran intelektual yang mumpuni serta memiliki kapabilitas yang tinggi sehingga dapat menawarkan gagasan-gagasan besar, ide-ide cemerlang sebagai alternatif dan solusi persoalan sosial kemasyarakatan di tengah kondisi bangsa yang kian terpuruk baik secara internal maupun dalam interaksi global.

Kondisi ummat lebih diperparah lagi karena kita tidak memiliki figur sentral yang lahir dan dibesarkan di luar sekat-sekat polarisasi.  Meski sebenarnya kita memiliki tokoh-tokoh netral, namun tetap saja tokoh-tokoh netral tersebut dianggap dekat dan/atau dianggap bagian dari kelompok tertentu yang masuk dalam lingkaran polarisasi.  Akibatnya, pemikiran tokoh-tokoh netral tersebut mendapat hambatan untuk menjadi referensi bersama.

Walaupun demikian masih banyak tokoh-tokoh Muslim yang memiliki pemikiran dan gagasan besar namun mereka berjuang melalui jalur lain bukan jalur politik.  Akan tetapi sangat disayangkan tokoh-tokoh kita ini tidak mendapat dukungan secara politik karena gagasannya tidak mencerminkan formalisasi agama yang menjadi modal pencitraan. Bahkan, gagasan yang mereka lontarkan sering dianggap berseberangan  dan terkadang disebut “pikiran liberal”.

Fakta lain yang juga sangat memprihatinkan adalah; kegiatan politik bagi para “politisi Islam” tidak dimaksudkan sebagai sarana perjuangan untuk memperbaiki nasib ummat, tetapi semata-mata sebagai “pekerjaan” seperti layaknya profesi lain.  Keadaan yang demikian tentu membawa kepada situasi yang tidak kondusif, karena mereka berada dalam situasi yang rentan terhadap godaan.

Kita merindukan suara lantang dari politisi parpol “Islam” yang memberikan krtikan tajam terhadap suatu kebijakan pemerintah yang dapat merugikan kepentingan masyarakat luas, tapi kritikan dimaksud disertai dengan analisis  yang komprehensif berdasarkan agumentasi ilmiah. Ruang persidangan DPR terasa sunyi dengan perdebatan yang berisi uraian analisis yang sarat dengan referensi mengenai kondisi sosial politik serta kehidupan berbangsa dan bernegara sebagaimana pernah dilakukan politisi angkatan pertama di negeri ini.

Perjuangan Ummat Islam melalui jalur politik nampaknya masih memerlukan waktu yang panjang untuk dapat menyatukan visi dan misi segenap elemen masyarakat muslim yang secara historis telah mengalami polarisasi terutama dalam perbedaan mazhab.  Meski perbedaan yang terjadi lebih banyak bidang  mazhab fiqh, tapi nampaknya membawa dampak yang cukup besar dalam penyatuan visi politik.

Oleh karena itu program jangka panjang yang perlu dilakukan adalah materi da’wah yang disampaikan oleh para aktivis da’i sebaiknya lebih mengarah kepada perbaikan kehidupan sosial ekonomi ummat serta membangun interaksi antar saudara sebangsa menuju ke arah yang lebih kondusif  Sekiranya ummat memerlukan uraian yang berkaitan dengan bimbingan dan pelaksanaan ritual keagamaan, maka jawaban yang disampaikan adalah petikan pendapat ulama dari berbagai mazhab tanpa harus menyatakan mazhab mana yang dianggap benar.

Ummat sebaiknya kita berikan keyakinan bahwa para Ulama dari berbagai mazhab itu ketika menyatakan pendapatnya setelah melalui kajian mendalam terhadap sekian banyak referensi keagamaan, melakukan perbandingan serius dari pendapat guru-guru mereka, sehingga pendapat dan ijtihad yang sampai kepada kita insya Allah dapat diikuti.

Ummat harus diberikan penyadaran bahwa perbedaan pandangan nilai-nilai keagamaan terlebih lagi dalam “mazhab fiqh” tidak perlu menjadi perdebatan panjang.  Semua aliran mazhab fiqh memiliki kelebihannya sendiri-sendiri, dan silahkan ummat menentukan pilihannya tanpa ketakutan yang berlebihan karena melakukan kesalahan.  Islam adalah agama yang mudah dipahami dan dilaksanakan, dan nilai-nilai yang terkandung di dalam ajarannya berisikan nilai-nilai universal untuk kemanusiaan.

 

Banjarmasin, 06 Maret 2022

 

 

 

CURRICULUM VITAE

1. N a m a             : Dr. H. MOHAMMAD EFFENDY, SH.,MH.

2. N I P                  : 19580320 198503 1 001

3. Tempat & tgl lahir  : Barabai, 20 Maret 1958

4. Pekerjaan        : Dosen Fakultas Hukum ULM

5. Pangkal/Gol.   : Pembina Utama Muda – IV/C

6. Pendidikan      :

    a. Fakultas Hukum Unlam (S1) Tamat Tahun 1983

    b. Pascasarjana (S2) Bidang Kajian Tata Negara/ Unpad Bandung Tahun 1996;

    c. Program Doktor (S3) Bidang Kajian Tata Negara Unpad Bandung 2011.

 

7.  Pengalaman pelatihan/training/Konferensi Internasional :

a.      Training for Management Universities di Utrech University – Belanda December 2014.

b.      Training for Management Universities di New Castile University – Australia May, 2015.

c.      Overseas Non Degree Training/Staff Development Project IDB 7in1 “Learning Program On strategic Leadership and Governance for College Deans and Vice Rector of Lambung Mangkurat University, di Manila – Philipina, November. 2016.

d.      Joint Working for Indonesia and France di Prancis – April 2016

e.      International Seminar – Research on Indonesia’s Legal System - Leiden Law School of Leiden University – Belanda, May, 2018.

 

8.   Pengalaman Pekerjaan.

    a. Sekretaris Jurusan Hukum Tata Negara (1990)

    b. Ketua Jurusan Hukum Tata Negara (1997)

    c. Pembantu Dekan II (2000 – 2003)

    d. Ketua Pusat Studi Hak Asasi Manusia Unlam (sampai sekarang)

    e. Anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kalimantan Selatan 2003-2008

    f. Anggota Tim Fasilitator Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) 2007/2008;

    g. Pengajar Hukum Administrasi Badan Diklat Pemerintah Provinsi KalSel.

    h. Tim Ahli/Konsultan Perancangan Peraturan Daerah dan Produk Hukum Daerah;

     i.  Wakil Ketua Majelis Kehormatan Notaris Wilayah Kalsel (2015 – 2018)

    j.  Dekan Fakultas Hukum ULM 2014 - 2018

Banjarmasin,    Maret 2022

Yang membuat

 

Dr. MOHAMMAD EFFENDY, SH., MH.



[1] Makalah disampaikan dalam kegiatan Pengayaan Wawasan Aktivis Da’wah di Era Global dilaksanakan oleh Dewan Da’wah Islam Indonesia (DDII) Wilayah Kalimantan selatan 5 – 6 Maret 2022.

[2] Dosen Fakultas Hukum ULM Banjarmasin.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sunnah Harian

Bentuk-bentuk Dakwah

Bentuk-bentuk dakwah dapat digolongkan menjadi tiga macam, yaitu: 1.       Dakwah bi al-lisan , artinya penyampaian pesan dakwah melalui lisan berupa ceramah, khutbah, pidato, nasihat atau komunikasi antara da’i dan mad’u . Dalam menyampaikan pesan dakwah, da’i harus berbicara dengan gaya bahasa yang berkesan, menyentuh dan komunikatif. Bahasa lisan yang harus digunakan dalam berdakwah yaitu perkataan yang jujur, solutif terhadap permasalahan yang dihadapi mad’u, menyentuh kalbu, santun, menyejukan dan tidak provokatif serta tidak mengandung fitnah. 2.       Dakwah bi al-Qalam ialah suatu kegiatan menyampaikan pesan dakwah melalui tulisan, seperti kitab-kitab, buku, majalah, jurnal, artikel, internet, spanduk, dan lain-lain. Karena dimaksudkan sebagai pesan dakwah, maka tulisan-tulisan tersebut tentu berisi ajakan atau seruan mengenai amar ma’ruf dan nahi munkar. Dakwah bi al-Qalam itu memiliki banyak keunikan dan kelebihan, yakni suatu tulisan tidak dibatasi ruang dan wa

maf’ul bih terbagi menjadi dua

Perlu diketahui bahwa maf’ul bih terbagi menjadi dua 1. Sharih Maf’ul bih yang Sharih terbagi juga menjadi dua : a.) Isim Zhahir. Contoh : a. قتل قردا جميلا (Dia membunuh seekor monyet yang bagus) قتل قردا جميلا فعل الماضى مفعول به : منصوب بالفتحة منعوت نعت Maf’ul bih diatas berupa isim mufrod, ‘alamat nashabnya adalah fathah. b. ستلقي اباها غدا(Besok dia akan bertemu dengan ayahnya) ستلقي اباها غدا فعل المضارع مفعول به : منصوب بالألف لأسماء الخمسة ظرف الزمان Contoh Maf’ul bih diatas berupa Asmaul Khomsah (اسماء الخمسة ), dan ‘alamat nashabnya berupa alif c. أ رأيت درّاجاتٍ في قريب البيت؟ sepeda-sepeda didekat rumah itu) (Apakah dirimu melihat أ ...رأي..... ..ت السياراتِ حرف الإستفهام فعل الماضي فاعل مفعول به : منصوب بالكسرة Maf’ul bih diatas berupa jamak muanats salim, dan ‘alamat nashabnya berupa kasroh. b.) Isim Dhamir Dhamir terbagi menjadi dua : 1.) Dhamir Muttashil. Jumlahnya ada dua belas. Contoh : § ضربني : dia telah memukulku § ضربنا : dia