Langsung ke konten utama

DINAMIKA PEMIKIRAN ISLAM; MENJAWAB TANTANGAN PERKEMBANGAN SAINTEK SERTA PERBEDAAN MADZHAB


Oleh: Wahyudi Ibnu Yusuf (Mahasiswa Program Doktoral Jurusan Ilmu Syariah UIN Antasari)

 

Pendahuluan

Pemikiran Islam   atau al fikr al Islami sebegaimana didefinisikan oleh Muhammad Husain Abdullah dengan :

الفكر الإسلامي هو الحكم على الواقع من وجهة نظر الإسلام

 

Menyikapi suatu fakta atau peristiwa menurut sudut pandang Islam.[1]

Berdasarkan definisi di atas ada tiga unsur dalam pemikiran Islam: fakta/peristiwa, status hukum dan pengkaitan fakta/peristiwa dengan hukum. fakta bisa berupa benda dan bisa berupa perbuatan. Jika fakta berupa benda maka status hukumnya hanya dua; halal atau haram. Hal ini karena mengacu pada kaidah hukum asal benda adalah mubah sebelum ada dalil yang mengharamkannya. Sedangkan jika fakta yang hendak dihukumi berupa perbuatan maka terikat dengan salah satu hukum yang lima (wajib, sunnah, mubah, makruh dan haram) atau dengan kata lain hukum asal perbuatan adalah terikat dengan hukum Islam.

Dari sisi cakupannya pemikiran Islam terbagi menjadi dua jenis. Jenis yang berkaitan dengan akidah Islam seperti rukun-rukun iman. Jenis kedua pemikiran Islam yang berkaitan dengan hukum-hukum syariah seperti bolehnya jual beli dan haramnya riba.

Asas hukum Islam ada dua; akal dan wahyu. Akal digunakan dalam rangka pembuktian keberadaan Allah, pembuktian al Quran kalamullah dan kerasulan Nabi Muhammad SAW. Inilah yang diistilahkan dengan dalil ‘aqli. Hanya saja perlu diberikan batasan yang tegas bahwa akal hanya boleh digunakan pada perkara yang memang bisa dijangkau olehnya yaitu fakta-fakta yang terindra (mahsus), sedang perkara yang  tidak bisa diindra seperti malaikat, jin, surga, neraka maka akal wajib tunduk pada khabar mu’tabar (al Quran dan hadis mutawatir).  Inilah yang diistilahkan dengan dalil naqli. Dalil naqli merupakan dasar kedua. Dalil naqli juga digunakan dalam perkara hukum (ahkamul khamsah), karena akal manusia tidak akan mampu mengetahui kehendak Allah kecuali merujuk pada khithabullah (seruan Allah), baik yang termaktub dalam al Quran maupun hadis. Posisi akal hanya untuk memahami fakta dan memahami khithabullah (seruan Allah) karena keduanya memang terindra (mahsus).

Ijtihad Untuk Menjawab Perkembangan Sainstek

Sudah menjadi sunnatullah, bahwa manusia dengan potensi akal yang diberikan oleh Allah SWT, akan menemukan/mengkreasi hal-hal baru. Termasuk dalam sainstek, di antara ciri masyarakat modern adalah kemajuan di bidang sainstek. Hanya saja sebagai seorang muslim yang setiap perbuatannya wajib terikat dengan hukum Islam wajib mencari tahu status hukum hasil perkembangan sainstek tersebut.

Satu-satunya metode yang diakui syari’at untuk menjawab persoalan yang hendak dicari status hukumnya adalah ijtihad, karena metode inilah yang disetujui oleh Nabi Saw saat berdialog dengan Mu’adz bin Jabal saat akan diutus ke Yaman sebagai wali atau hakim bagi penduduk Yaman. Ijtihad menurut ulama Ushul didefinisikan dengan :

اسْتِفْرَاغِ الْوُسْعِ فِي طَلَبِ الظَّنِّ بِشَيْءٍ مِنَ الْأَحْكَامِ الشَّرْعِيَّةِ عَلَى وَجْهٍ يُحَسُّ مِنَ النَّفْسِ الْعَجْزُ عَنِ الْمَزِيدِ فِيهِ

Mengerahkan segenap kemampuan dalam mencari dugaan terhadap salah satu hukum syara’ sampai batas dimana seorang mujtahid merasa tidak mampu lagi melakukan lebih dari itu.[2]

            Dikatakan “mencari dugaan” karena hukum-hukum qath’i yang dinyatakan di dalam nash tidak memerlukan ijtihad. Dikatakan “atas salah satu hukum syariat” karena ijtihad tidak dilakukan dalam perkara akidah dan pengindraan. Definisi ini juga sekaligus menegaskan bahwa produk ijtihad merupakan hukum syara’. Dia memang Fiqih, namun Fiqih itu sendiri bagian dari syariat Islam. berusaha membedakan Fiqih dengan Syariat dari sisi qath’i dan zhani sejatinya bertentangan dengan definisi ini dan definisi Fiqih itu sendiri. Dikatakan “dalam bentuk dimana seorang mujtahid merasa tidak mampu lagi melakukan lebih dari itu” karena ijtihad dari orang yang lalai dan malas, sementara dia masih memungkinkan untuk menggunakan kemampuannya lebih tinggi lagi tidak terkategori ijtihad.

            Ijtihad hukumnya fardhu kifayah. Tidak boleh terjadi kevakuman ijtihad dalam satu masa, jika terjadi kevakuman maka kaum muslimin semuanya berdosa, kecuali mereka yang mengupayakan adanya satu mujtahid atau lebih.[3] Mengapa bisa demikian?. Setidaknya karena dua alasan:

1. Banyak masalah-masalah baru yang tidak ada nash-nya dalam Al-Qur`an dan As-Sunnah secara tegas. Misalnya : kloning, bayi tabung, dll.

2. Manusia wajib terikat dengan hukum syara’ dalam segala perbuatannya, termasuk dalam masalah-masalah baru. Dalil-dalil wajibnya terikat dengan hukum syara’ sangatlah banyak, di antaranya: QS 5:49; QS 4:65, dll.

              Ijtihad bagi yang mampu melakukannya hukumnya wajib berdasarkan kaidah maa laa yatimmul wajibu illa bihi fahuwa wajib, (kewajiban yang tak terlaksana kecuali dgn sesuatu, maka sesuatu itu menjadi wajib pula hukumnya). Sebab tanpa ijtihad tak mungkin seseorang terikat dengan hukum syara’ pada masalah-masalah baru.

           Sumber utama ijtihad adalah al Quran dan as Sunnah. Keduanya,  menurut Imam al-Ghazali (w. 505 H), bagaikan pohon yang senantiasa berbuah. Buahnya sangat bermanfaat dan dibutuhkan manusia. Namun produktivitas pohon tersebut tidak ada artinya jika bisa dipetik. Bahkan, bisa jadi buah pohon tersebut tidak pernah bisa dinikmati, selain hanya dilihat oleh semua orang  yang ada di bawah pohon berbuah lebat tersebut. Disinilah maka sangat diperlukan kehadiran orang yang mampu memetik buah tersebut. Dialah orang yang akan memetik dan menghadirkan ke hadapan orang yang ingin menikmatinya. Pemetik itu tidak lain adalah mujtahid.

         Syaikh ‘Atha Ibnu Khalil juga menjelaskan tentang prosedur atau langkah-langkah ijtihad dilakukan dalam tiga langkah yaitu[4]:

1.   Memahami fakta masalah yang akan dihukumi

Pada langkah ini seorang mujtahid wajib mengkaji fakta-fakta terkait kasus atau peristiwa atau bahkan penomena yang hendak dicari status hukumnya. Semakin lengkap informasi atau fakta yang dikumpulkan maka gambaran terhadap fakta yang akan dihukumi juga semakin komprehensif. Pada langkah ini seorang mujtahid dapat bertanya dengan pihak-pihak yang ahli di bidangnya. Sebagai contoh fakta Kloning (klonasi) adalah teknik membuat keturunan dengan kode genetik yang sama dengan induknya pada makhluk hidup tertentu baik berupa tumbuhan, hewan, maupun manusia. Kloning manusia adalah teknik membuat keturunan dengan kode genetik yang sama dengan induknya yang berupa manusia. Hal ini dapat dilakukan dengan cara mengambil sel tubuh (sel somatik) dari tubuh manusia, kemudian diambil inti selnya (nukleusnya), dan selanjutnya ditanamkan pada sel telur (ovum) wanita yang telah dihilangkan inti selnya dengan suatu metode yang mirip dengan proses pembuahan atau inse­minasi buatan. Dengan metode semacam itu, kloning manusia dilaksanakan dengan cara mengambil inti sel dari tubuh seseorang, lalu dimasukkan ke dalam sel telur yang diambil dari seorang perempuan. Lalu dengan bantuan cairan kimiawi khusus dan kejutan arus listrik, inti sel digabungkan dengan sel telur. Setelah proses penggabungan ini terjadi, sel telur yang telah bercampur dengan inti sel tersebut ditrans­fer ke dalam rahim seorang perempuan, agar dapat memperbany­ak diri, berkembang, berdiferensiasi, dan berubah menjadi janin sempurna. Setelah itu keturunan yang dihasilkan dapat dilahirkan secara alami. Keturunan ini akan berkode genetik sama dengan induknya, yakni orang yang menjadi sumber inti sel tubuh yang telah ditanamkan pada sel telur perempuan.[5]

2.   Mengkaji nash-nash syara’ yang terkait dengan masalah yang hendak dicari hukumnya.

Pada langkah ini seorang mujtahid mencari dalil-dali yang relevan sesuai dengan manhaj Ushul Fiqih yang dia adopsi. Misalkan ia hanya membatasi dalil hanya pada dalil-dali yang disepakati (al Quran, as Sunnah, Ijma’ sahabat, dan Qiyas) maka ia hanya akan mencari dalil yang relevan dengan kasus dari sumber tersebut saja. Pada langkah ini semakin banyak dalil yang relevan dengan masalah yang dapat dikumpulkan semakin baik agar tidak terjatuh pada pengabaian dalil. Sebagai contoh tentang kloning, dalil-dalil yang dapat digunakan adalah dalil terkait proses terciptanya manusia adalah suatu yang alami, sebagaimana firman Allah:

أَلَمْ يَكُ نُطْفَةً مِنْ مَنِيٍّ يُمْنَى (37) ثُمَّ كَانَ عَلَقَةً فَخَلَقَ فَسَوَّى (38)

"Bukankah dia dahulu setetes mani yang ditumpahkan (ke dalam rahim), kemudian mani itu menjadi segumpal darah, lalu Allah menciptakannya, dan menyempurnakannya." (QS. Al Qiyaamah : 37-38)

 

Proses pembuahan secara alami melibatkan pihak laki-laki dan perempuan, dalam hal ini Allah berfirman:

يَاأَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَى

"Hai manusia, sesunguhnya Kami menciptakan kalian dari seorang laki-laki dan seorang perempuan." (QS. Al Hujuraat : 13)

Serta dalil bahwa Islam sangat menjaga kejelasan nasab. Diriway­atkan dari Ibnu 'Abbas RA, yang mengatakan bahwa Rasulullah SAW telah bersabda :

مَنْ انْتَسَبَ إِلَى غَيْرِ أَبِيهِ أَوْ تَوَلَّى غَيْرَ مَوَالِيهِ فَعَلَيْهِ لَعْنَةُ اللَّهِ وَالْمَلَائِكَةِ وَالنَّاسِ أَجْمَعِينَ

"Siapa saja yang menghubungkan nasab kepada orang yang bukan ayahnya, atau (seorang budak) bertuan (loyal/taat) kepada selain tuannya, maka dia akan mendapat laknat dari Allah, para malaikat, dan seluruh manusia." (HR. Ibnu Majah)

3.   Mengistinbath hukum syara’ dari nash-nash syara’.

Setelah dalil-dalil yang relevan dikumpulkan semua, langkah selanjutnya adalah mengoperasionalkan dalil-dalil tersebut dengan kaidah-kaidah Ushul Fiqih yang ada. Baik dari sisi rajih marjuhnya, nashikh mansuhnya, mutlak-muqayyad, umum dan khususnya, mujmal dan mubayyannya dan seterusnya. Hingga akhirnya disimpulkan status hukum kasus yang dicari hukumnya. Dalam konteks hukum kloning pada manusia simpulkan hukumnya haram karena tiga alasan, yaitu: proses penciptaan manusia tidak berjalan alami, dapat menghilangkan peran laki-laki karena seorang wanita dapat melahirkan bayi tanpa perlu pembuahan dari sperma laki-laki, dan karena berakibat pada kacaunya nasab.[6]

Dinamika Pemikiran Islam dan Madzhab

Menurut bahasa Arab, madzhab”  (مذهب)berasal dari shighah masdar mimy (kata sifat) dan isim makan (kata yang menunjukkan keterangan tempat) dari akar kata fiil madhy  “dzahaba” (ذهب) yang bermakna pergi. Jadi, mazhab itu secara bahasa artinya, “tempat pergi”, yaitu jalan (ath-thariq).[7] Sedangkan menurut istilah, menurut M. Husain Abdullah, madzhab adalah kumpulan pendapat mujtahid yang berupa hukum-hukum Islam, yang digali dari dalil-dalil syariat yang rinci serta berbagai kaidah (qawa’id) dan landasan (ushul) yang mendasari pendapat tersebut, yang saling terkait satu sama lain sehingga menjadi satu kesatuan yang utuh.[8]

           Dengan demikian, kendatipun mazhab itu manifestasinya berupa hukum-hukum syariat (fiqh), yang ditempuh mujtahid itu untuk menggali hukum-hukum Islam dari dalil-dalilnya yang rinci harus dipahami bahwa mazhab itu sesungguhnya juga mencakup ushul fiqh yang menjadi metode penggalian (thariqah al-istinbath) untuk melahirkan hukum-hukum tersebut. Artinya, jika kita mengatakan mazhab Syafi’i, itu artinya adalah, fiqh dan ushul fiqh menurut Imam Syafi’i.

Lahirnya berbagai madzhab dalam ilmu fiqih dilatarbelakangi oleh beberapa faktor antara lain disebabkan oleh :

1.      Perbedaan Pemahaman (Pengertian) Tentang Lafadz Nash

2.      Perbedaan Dalam Masalah Hadits

3.      Perbedaan dalam Pemahaman dan Penggunaan Qaidah Lughawiyah Nash

4.      Perbedaan Dalam Mentarjihkan Dalil-dalil yang berlawanan ( ta’rudl al-adillah)

5.      Perbedaan Tentang Qiyas

6.      Perbedaan dalam Penggunaan Dalil-dalil Hukum

7.      Perbedaan dalam Pemahaman Illat Hukum

8.      Perbedaan dalam Masalah Nasakh.[9]

 

Bila diruntut ke belakang, mahzab fiqih itu sudah ada sejak zaman Rosulullah SAW, Madzhab pada zaman Rosululah adalah sebatas Ijitihad (pendapat) para sahabat dalam memahami agama, karena pada zaman itu sumber hukum islam adalah hanya al-Quran dan Hadits, sehingga ketika para sahabat terjadi perselisihan dan berijtihad masing-masing; maka mereka langsung melaporkan masalah tersebut kepada Rosulullah. Sepeninggal Rasulullah ijtihad tetap terus berlangsung. Tentu dilakukan oleh orang yang memiliki kompetensi yaitu mujtahid. Pada puncaknya ada ratusan sahabat dan generasi sesudah yang layak melakukan ijtihad. Hanya saja kemudian madzhab ini mengerucut, seiring tingkat kemasyhuran muassis/peletak pondasi madzhab. Karenanya kita mengenal 4 madzhab yang masyhur; Hanafi, Maliki, Syafii dan Hanbali. Ada beberapa mazhab lain yang terkenal yang muncul pada abad 2 sampai dengan 3 hijriyyah antara lain Madzhab Atho, Madzhab Ibnu sirin, Madzhab Zhohiriyyah yang di pelopori Imam Daud az zhohiri, Madzhab As ya’bi, Mazhab Imam an-Nakho’i; akan tetapi madzhab-madzhab tersebut tidak begitu berkembang seiring berjalannya zaman dari masa ke masa.

Setelah masa puncak produktvitas berpikir syar’i melalui ijtihad, umat Islam mengalami kemunduran berpikir. Hal ini dimulai dari ditutupnya pintu ijtihad sejak akhir abad ke-4 H/10 M. Ulama yang menyerukan ditutupnya pintu ijtihad adalah al Qaffal[10] (327-417 H). Hal ini menyebabkan banyak ulama yang sebenarnya memiliki kemampuan melakukan ijtihad tidak berani melakukannya, seperti yang dilakukan al Imam Taqiyuddin as Subki[11] (w. 756 H). Namun hingga awal abad ke-7 H pemikiran umat Islam masih belum mengalami kemerosotan. Hanya saja, sejak awal abad ke-7 hingga akhir abad ke-13 H, umat Islam mengalami kemerosotan berpikir yang tajam, meski tetap merepresentasikan pemikiran Islam. kemerosotan berpikir ini semakin menjadi-jadi saat Islam tidak lagi diterapkan dalam kancah kehidupan hingga saat ini.[12] Mereka akhirnya mengadopsi undang-undang produk Barat, khususnya Inggris dan Prancis. Seperti di Turki sebagai pusat kekuasaan Islam yang mengadopsi UU Hukum Pidaan Negara Ustmani pada tahun 1857, UU Keuangan dan Perdagangan pada tahun 1859. Pada tahun 1870 membagi lembaga peradilan menjadi dua yaitu peradilan syariah (mahkamah syariah) dan pengadilan umum/sipil (mahkamah nizhamiyah).[13] Hingga saat institusi yang selama ini menjadi penjaga dan pelaksana syariah di-ebolish oleh Mustafa Kemal atas dukungan Inggris, kaum  muslimin tidak memberikan pembelaan yang optimal.[14]  Kondisi umat Islam saat ini benar-benar dalam kondisi yang memprihatinkan, yaitu kondisi yang jauh dari Syariat karena sulitnya memberikan gambaran gambaran pelaksanaan Syariat yang komprehensif (kaffah).

Tidak diterapkannya Islam dalam kancah kehidupan menjadi faktor utama kemunduran berpikir. Umat kehilangan ghirah untuk terikat pada syariat Islam dalam setiap aktivitasnya. Mereka hanya merasa wajib terikat dengan syariat dalam bidang yang amat sempit seperti shalat, zakat, puasa, haji, nikah, talak, rujuk, waris, dsb. Namun cenderung kurang peduli terhadap kewajiban terikat terhadap aturan Islam dalam bidang politik, ekonomi, hukum, peradilan, sistem sanksi, politik luar negeri, pendidikan, sosial, budaya dan bidang bidang kehidupan yang lain.

            Kondisi ini adalah gambaran dari pandangan sekularisme, pandangan hidup dari Barat yang memisahkan urusan agama dengan urusan kehidupan. Orang-orang yang terpapar paham sekularisme ini akan mengatakan “jangan campurkan urusan agama dengan politik, karena agama itu suci sedang politik itu kotor”, “agama tidak tidak cocok untuk mengurus negara”, dan ungkapan-ungkapan sejenis lainnya. Ruh sekularisme adalah kebebasan (freedom/hurriyah). Kebebasan ini kemudian menjalar dalam segala aspek. Kebebasan dalam bidang beragama menjelma menjadi sinkritisme agama, dalam bidang politik menjelma menjadi kebebasan manusia untuk membuat hukum dan undang-undang (demokrasi), dalam bidang ekonomi menjelma menjadi kapitalisme dan ambisi menguasai faktor-faktor ekonomi, di bidang pendidikan menjadi materialisme (orientasi materi, lembaga pendidikan dibuat mengikuti kebutuhan pasar), di bidang budaya menjadi paham hedonisme (serba boleh),  dan seterusnya.

 

Penutup

Berdasarkan uraian di atas, untuk menjawab tantanan zaman yang bercirikan kemajuan saintek harus dimulai dari meng-install pemahaman umat tentang perkara yang paling mendasar yaitu akidah, bahwa manusia adalah hamba Allah, misi utamanya adalah beribadah kepada Allah, beribadah kepada Allah dalam segala aspek kehidupannya, tidak sepotong-sepotong seperti pemahaman kalangan sekularis. Wujudnya adalah keterikatan terhadap hukum-hukum syariat dalam segala bidang. Cara sederhananya adalah mengetahui status hukum atas setiap perbuatannya.

Sementara keterikatannya terhadap syariat mewajibkannya untuk belajar kepada yang lebih ‘âlim dan bagi mujtahid ada kewajiban untuk berijtihad. Seiring dengan semakin banyaknya persoalan kontemporer maka kebutuhan akan mujtahid juga semakin banyak. Dengan landasan seperti inilah seorang pengkaji ilmu semestinnya memiliki visi bahwa ia harus menjadi seorang mujtahid, selain motivasi bahwa seorang mujtahid akan tetap mendapatkan pahala meski hasil ijtihadnya keliru. Karena visi yang besar akan mendorong untuk berbuat lebih besar dan lebih bersemangat. Jadilah kajian-kajian bahasa arab, ulumul quran, ulumul hadis, tafsir, sirah, tarikh, Ushul Fiqih, Fiqih dan ilmu-ilmu syariah  lainnya menjadi kajian-kajian yang menarik dan menggairahkan karena dikaitkan dengan visi besar untuk membangkitkan umat dengan metode berpikih ushuli tersebut.

 

 



[1] Muhammad Husain Abdullah. Dirosat fil fikril Islamiy, hal. 9

[2] Al Amidi, al Ihkam fi Ushul al Ahkam, (Beirut: al Maktbah al Islami, tt) juz IV, hlm. 162

[3] ‘Atha Ibnu Khalil, Taisir Wushûl ilal Ushûl Dirâsâtun fî Ushûl al Fiqh (Beirut: Dâr al Ummah, 2000),  hal. 290

[4] ‘Atha Ibnu Khalil, Taisir Wushûl ....(Beirut: Dâr al Ummah, 200),  hal. 264-265

[5] Abdul Qadim Zallum, Hukmu al Syar’i fi al Istinsakh, (Beirut: Darul Ummah, 1997), hal. 5

[6] ibid

[7] M.Husain Abdullah, Al-Wadhih fi Usul al-Fiqh, (Beirut: Darul Bayariq, 1995), hal 196

[8] Husain Abdullah, Al-Wadhih fi Usul al-Fiqh, (Beirut: Darul Bayariq, 1995), hal 200

[9] Al-Qordhowi, Yusuf, Fikih Ikhtilaf, ( Kairo : Dar al Fikr al- Islamiy, 1997) hal 65

[10] Nama lengkapnya adalah Abdullah bin Ahmad bin Abdullah, Abu Bakar. Dikenal sebagai al Qaffal al –Marwazi, nisbatnya ke Marwa Asy-Syahajan. Profesinya membuat gembok (Qaffal). Beliau seorang faqih dalam madzhab Syafi’i

[11] Nama lengkapnya adalah Ali bin Abdul Kafi, Abu Hasan Taqiyuddin as Subki, lahir di desa Subki Mesir pada tahun 683. Beliau seorang ulama besar madzhab Syafi’i yang tinggal di Mesir. Beliau wafat tahun 756 H di Mesir

[12] Hafidz Abdurrahman, Ushul Fiqih; Membangun Paradigma Berfikir Tasyri’, (Bogor: al Azhar Press, 2003), hlm. 1

[13] Abdul Qadim Zallum, Konspirasi Barat Meruntuhkan Khilafah Islamiyah (Bangil: al-Izzah, 2001), hal. 36

[14] Ibid, hal. 179-185

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sunnah Harian

Bentuk-bentuk Dakwah

Bentuk-bentuk dakwah dapat digolongkan menjadi tiga macam, yaitu: 1.       Dakwah bi al-lisan , artinya penyampaian pesan dakwah melalui lisan berupa ceramah, khutbah, pidato, nasihat atau komunikasi antara da’i dan mad’u . Dalam menyampaikan pesan dakwah, da’i harus berbicara dengan gaya bahasa yang berkesan, menyentuh dan komunikatif. Bahasa lisan yang harus digunakan dalam berdakwah yaitu perkataan yang jujur, solutif terhadap permasalahan yang dihadapi mad’u, menyentuh kalbu, santun, menyejukan dan tidak provokatif serta tidak mengandung fitnah. 2.       Dakwah bi al-Qalam ialah suatu kegiatan menyampaikan pesan dakwah melalui tulisan, seperti kitab-kitab, buku, majalah, jurnal, artikel, internet, spanduk, dan lain-lain. Karena dimaksudkan sebagai pesan dakwah, maka tulisan-tulisan tersebut tentu berisi ajakan atau seruan mengenai amar ma’ruf dan nahi munkar. Dakwah bi al-Qalam itu memiliki banyak keunikan dan kelebihan, yakni suatu tulisan tidak dibatasi ruang dan wa

maf’ul bih terbagi menjadi dua

Perlu diketahui bahwa maf’ul bih terbagi menjadi dua 1. Sharih Maf’ul bih yang Sharih terbagi juga menjadi dua : a.) Isim Zhahir. Contoh : a. قتل قردا جميلا (Dia membunuh seekor monyet yang bagus) قتل قردا جميلا فعل الماضى مفعول به : منصوب بالفتحة منعوت نعت Maf’ul bih diatas berupa isim mufrod, ‘alamat nashabnya adalah fathah. b. ستلقي اباها غدا(Besok dia akan bertemu dengan ayahnya) ستلقي اباها غدا فعل المضارع مفعول به : منصوب بالألف لأسماء الخمسة ظرف الزمان Contoh Maf’ul bih diatas berupa Asmaul Khomsah (اسماء الخمسة ), dan ‘alamat nashabnya berupa alif c. أ رأيت درّاجاتٍ في قريب البيت؟ sepeda-sepeda didekat rumah itu) (Apakah dirimu melihat أ ...رأي..... ..ت السياراتِ حرف الإستفهام فعل الماضي فاعل مفعول به : منصوب بالكسرة Maf’ul bih diatas berupa jamak muanats salim, dan ‘alamat nashabnya berupa kasroh. b.) Isim Dhamir Dhamir terbagi menjadi dua : 1.) Dhamir Muttashil. Jumlahnya ada dua belas. Contoh : § ضربني : dia telah memukulku § ضربنا : dia