Oleh: Wahyudi Ibnu Yusuf (Mahasiswa Program Doktoral Jurusan Ilmu
Syariah UIN Antasari)
Pendahuluan
Pemikiran Islam atau
al fikr al Islami sebegaimana didefinisikan oleh Muhammad Husain
Abdullah dengan :
الفكر الإسلامي هو
الحكم على الواقع من وجهة نظر الإسلام
Menyikapi suatu fakta atau peristiwa menurut sudut pandang Islam.[1]
Berdasarkan definisi di atas ada tiga unsur dalam pemikiran Islam:
fakta/peristiwa, status hukum dan pengkaitan fakta/peristiwa dengan hukum.
fakta bisa berupa benda dan bisa berupa perbuatan. Jika fakta berupa benda maka
status hukumnya hanya dua; halal atau haram. Hal ini karena mengacu pada kaidah
hukum asal benda adalah mubah sebelum ada dalil yang mengharamkannya. Sedangkan
jika fakta yang hendak dihukumi berupa perbuatan maka terikat dengan salah satu
hukum yang lima (wajib, sunnah, mubah, makruh dan haram) atau dengan kata lain
hukum asal perbuatan adalah terikat dengan hukum Islam.
Dari sisi cakupannya pemikiran Islam terbagi menjadi dua jenis.
Jenis yang berkaitan dengan akidah Islam seperti rukun-rukun iman. Jenis kedua
pemikiran Islam yang berkaitan dengan hukum-hukum syariah seperti bolehnya jual
beli dan haramnya riba.
Asas hukum Islam ada dua; akal dan wahyu. Akal digunakan dalam
rangka pembuktian keberadaan Allah, pembuktian al Quran kalamullah dan
kerasulan Nabi Muhammad SAW. Inilah yang diistilahkan dengan dalil ‘aqli. Hanya
saja perlu diberikan batasan yang tegas bahwa akal hanya boleh digunakan pada
perkara yang memang bisa dijangkau olehnya yaitu fakta-fakta yang terindra
(mahsus), sedang perkara yang tidak bisa
diindra seperti malaikat, jin, surga, neraka maka akal wajib tunduk pada khabar
mu’tabar (al Quran dan hadis mutawatir).
Inilah yang diistilahkan dengan dalil naqli. Dalil naqli merupakan dasar
kedua. Dalil naqli juga digunakan dalam perkara hukum (ahkamul khamsah), karena
akal manusia tidak akan mampu mengetahui kehendak Allah kecuali merujuk pada khithabullah
(seruan Allah), baik yang termaktub dalam al Quran maupun hadis. Posisi akal
hanya untuk memahami fakta dan memahami khithabullah (seruan Allah)
karena keduanya memang terindra (mahsus).
Ijtihad Untuk Menjawab Perkembangan Sainstek
Sudah menjadi sunnatullah, bahwa manusia dengan
potensi akal yang diberikan oleh
Allah SWT, akan menemukan/mengkreasi hal-hal baru. Termasuk dalam sainstek, di
antara ciri masyarakat modern adalah kemajuan di bidang sainstek. Hanya saja
sebagai seorang muslim yang setiap perbuatannya wajib terikat dengan hukum
Islam wajib mencari tahu status hukum hasil perkembangan sainstek tersebut.
Satu-satunya
metode yang diakui syari’at untuk menjawab persoalan yang hendak dicari status
hukumnya adalah ijtihad, karena metode inilah yang disetujui oleh Nabi Saw saat
berdialog dengan Mu’adz bin Jabal saat akan diutus ke Yaman sebagai wali atau
hakim bagi penduduk Yaman. Ijtihad menurut ulama Ushul didefinisikan dengan :
اسْتِفْرَاغِ الْوُسْعِ فِي طَلَبِ الظَّنِّ بِشَيْءٍ مِنَ
الْأَحْكَامِ الشَّرْعِيَّةِ عَلَى وَجْهٍ يُحَسُّ مِنَ النَّفْسِ الْعَجْزُ عَنِ
الْمَزِيدِ فِيهِ
Mengerahkan
segenap kemampuan dalam mencari dugaan terhadap salah satu hukum syara’ sampai
batas dimana seorang mujtahid merasa tidak mampu lagi melakukan lebih dari itu.[2]
Dikatakan “mencari dugaan” karena
hukum-hukum qath’i yang dinyatakan di dalam nash tidak memerlukan ijtihad.
Dikatakan “atas salah satu hukum syariat” karena ijtihad tidak dilakukan dalam
perkara akidah dan pengindraan. Definisi ini juga sekaligus menegaskan bahwa
produk ijtihad merupakan hukum syara’. Dia memang Fiqih, namun Fiqih itu
sendiri bagian dari syariat Islam. berusaha membedakan Fiqih dengan Syariat
dari sisi qath’i dan zhani sejatinya bertentangan dengan definisi ini dan
definisi Fiqih itu sendiri. Dikatakan “dalam bentuk dimana seorang mujtahid
merasa tidak mampu lagi melakukan lebih dari itu” karena ijtihad dari orang
yang lalai dan malas, sementara dia masih memungkinkan untuk menggunakan
kemampuannya lebih tinggi lagi tidak terkategori ijtihad.
Ijtihad hukumnya fardhu kifayah.
Tidak boleh terjadi kevakuman ijtihad dalam satu masa, jika terjadi kevakuman
maka kaum muslimin semuanya berdosa, kecuali mereka yang mengupayakan adanya
satu mujtahid atau lebih.[3] Mengapa
bisa demikian?. Setidaknya karena dua alasan:
1. Banyak masalah-masalah baru yang tidak ada
nash-nya dalam Al-Qur`an dan As-Sunnah secara tegas. Misalnya : kloning, bayi tabung, dll.
2. Manusia wajib terikat dengan hukum syara’
dalam segala perbuatannya, termasuk dalam masalah-masalah baru. Dalil-dalil
wajibnya terikat dengan hukum syara’ sangatlah
banyak, di antaranya: QS 5:49; QS 4:65, dll.
Ijtihad bagi
yang mampu melakukannya hukumnya wajib berdasarkan kaidah maa laa yatimmul
wajibu illa bihi fahuwa wajib, (kewajiban yang tak terlaksana kecuali dgn
sesuatu, maka sesuatu itu menjadi wajib pula hukumnya). Sebab tanpa ijtihad tak mungkin seseorang
terikat dengan hukum syara’ pada masalah-masalah baru.
Sumber utama
ijtihad adalah al Quran dan as Sunnah. Keduanya, menurut Imam al-Ghazali (w. 505 H), bagaikan
pohon yang senantiasa berbuah. Buahnya sangat bermanfaat dan dibutuhkan
manusia. Namun produktivitas pohon tersebut tidak ada artinya jika bisa
dipetik. Bahkan, bisa jadi buah pohon tersebut tidak pernah bisa dinikmati,
selain hanya dilihat oleh semua orang
yang ada di bawah pohon berbuah lebat tersebut. Disinilah maka sangat
diperlukan kehadiran orang yang mampu memetik buah tersebut. Dialah orang yang
akan memetik dan menghadirkan ke hadapan orang yang ingin menikmatinya. Pemetik
itu tidak lain adalah mujtahid.
Syaikh ‘Atha Ibnu
Khalil juga menjelaskan tentang prosedur atau langkah-langkah ijtihad dilakukan
dalam tiga langkah yaitu[4]:
1.
Memahami fakta masalah yang akan dihukumi
Pada langkah ini seorang mujtahid
wajib mengkaji fakta-fakta terkait kasus atau peristiwa atau bahkan penomena
yang hendak dicari status hukumnya. Semakin lengkap informasi atau fakta yang
dikumpulkan maka gambaran terhadap fakta yang akan dihukumi juga semakin
komprehensif. Pada langkah ini seorang mujtahid dapat bertanya dengan
pihak-pihak yang ahli di bidangnya. Sebagai contoh fakta Kloning (klonasi)
adalah teknik membuat keturunan dengan kode genetik yang sama dengan induknya
pada makhluk hidup tertentu baik berupa tumbuhan, hewan, maupun manusia.
Kloning manusia adalah teknik membuat keturunan dengan kode genetik yang sama
dengan induknya yang berupa manusia. Hal ini dapat dilakukan dengan cara
mengambil sel tubuh (sel
somatik) dari tubuh manusia, kemudian diambil inti selnya (nukleusnya), dan
selanjutnya ditanamkan pada sel telur (ovum) wanita yang telah dihilangkan inti
selnya dengan suatu metode yang mirip dengan proses pembuahan atau inseminasi
buatan. Dengan metode semacam itu, kloning manusia dilaksanakan dengan cara
mengambil inti sel dari tubuh seseorang, lalu dimasukkan ke dalam sel telur
yang diambil dari seorang perempuan. Lalu dengan bantuan cairan kimiawi khusus
dan kejutan arus listrik, inti sel digabungkan dengan sel telur. Setelah proses
penggabungan ini terjadi, sel telur yang telah bercampur dengan inti sel
tersebut ditransfer ke dalam rahim seorang perempuan, agar dapat memperbanyak
diri, berkembang, berdiferensiasi, dan berubah menjadi janin sempurna. Setelah
itu keturunan yang dihasilkan dapat dilahirkan secara alami. Keturunan ini akan
berkode genetik sama dengan induknya, yakni orang yang menjadi sumber inti sel
tubuh yang telah ditanamkan pada sel telur perempuan.[5]
2.
Mengkaji nash-nash syara’ yang
terkait dengan
masalah yang hendak dicari hukumnya.
Pada
langkah ini seorang mujtahid mencari dalil-dali yang relevan sesuai dengan
manhaj Ushul Fiqih yang dia adopsi. Misalkan ia hanya membatasi dalil hanya
pada dalil-dali yang disepakati (al Quran, as Sunnah, Ijma’ sahabat, dan Qiyas)
maka ia hanya akan mencari dalil yang relevan dengan kasus dari sumber tersebut
saja. Pada langkah ini semakin banyak dalil yang relevan dengan masalah yang
dapat dikumpulkan semakin baik agar tidak terjatuh pada pengabaian dalil.
Sebagai contoh tentang kloning, dalil-dalil yang dapat digunakan adalah dalil
terkait proses terciptanya manusia adalah suatu yang alami, sebagaimana firman
Allah:
أَلَمْ
يَكُ نُطْفَةً مِنْ مَنِيٍّ يُمْنَى (37) ثُمَّ كَانَ عَلَقَةً فَخَلَقَ فَسَوَّى
(38)
"Bukankah dia dahulu setetes mani yang ditumpahkan (ke dalam
rahim), kemudian mani itu menjadi segumpal darah, lalu Allah menciptakannya,
dan menyempurnakannya." (QS. Al Qiyaamah : 37-38)
Proses
pembuahan secara alami melibatkan pihak laki-laki dan perempuan, dalam hal ini
Allah berfirman:
يَاأَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ
وَأُنْثَى
"Hai manusia, sesunguhnya Kami menciptakan kalian dari seorang
laki-laki dan seorang perempuan." (QS. Al Hujuraat : 13)
Serta dalil bahwa Islam sangat
menjaga kejelasan nasab. Diriwayatkan dari Ibnu 'Abbas RA, yang mengatakan
bahwa Rasulullah SAW telah bersabda :
مَنْ انْتَسَبَ
إِلَى غَيْرِ أَبِيهِ أَوْ تَوَلَّى غَيْرَ مَوَالِيهِ فَعَلَيْهِ لَعْنَةُ
اللَّهِ وَالْمَلَائِكَةِ وَالنَّاسِ أَجْمَعِينَ
"Siapa saja yang menghubungkan nasab kepada orang yang bukan
ayahnya, atau (seorang budak) bertuan (loyal/taat) kepada selain tuannya, maka
dia akan mendapat laknat dari Allah, para malaikat, dan seluruh manusia."
(HR. Ibnu Majah)
3.
Mengistinbath hukum syara’ dari
nash-nash syara’.
Setelah
dalil-dalil yang relevan dikumpulkan semua, langkah selanjutnya adalah
mengoperasionalkan dalil-dalil tersebut dengan kaidah-kaidah Ushul Fiqih yang
ada. Baik dari sisi rajih marjuhnya, nashikh mansuhnya, mutlak-muqayyad, umum
dan khususnya, mujmal dan mubayyannya dan seterusnya. Hingga akhirnya
disimpulkan status hukum kasus yang dicari hukumnya. Dalam konteks hukum
kloning pada manusia simpulkan hukumnya haram karena tiga alasan, yaitu: proses
penciptaan manusia tidak berjalan alami, dapat menghilangkan peran laki-laki
karena seorang wanita dapat melahirkan bayi tanpa perlu pembuahan dari sperma
laki-laki, dan karena berakibat pada kacaunya nasab.[6]
Dinamika Pemikiran Islam dan Madzhab
Menurut bahasa Arab, “madzhab” (مذهب)berasal dari shighah masdar
mimy (kata sifat) dan isim makan (kata yang
menunjukkan keterangan tempat) dari akar kata fiil madhy “dzahaba” (ذهب) yang bermakna pergi. Jadi, mazhab
itu secara bahasa artinya, “tempat pergi”, yaitu jalan (ath-thariq).[7] Sedangkan menurut
istilah, menurut M. Husain Abdullah, madzhab adalah kumpulan pendapat mujtahid
yang berupa hukum-hukum Islam, yang digali dari dalil-dalil syariat yang rinci
serta berbagai kaidah (qawa’id) dan landasan (ushul) yang mendasari pendapat
tersebut, yang saling terkait satu sama lain sehingga menjadi satu kesatuan
yang utuh.[8]
Dengan demikian, kendatipun mazhab itu manifestasinya berupa hukum-hukum
syariat (fiqh), yang ditempuh mujtahid itu untuk menggali hukum-hukum Islam
dari dalil-dalilnya yang rinci harus dipahami bahwa mazhab itu sesungguhnya
juga mencakup ushul fiqh yang menjadi metode penggalian (thariqah
al-istinbath) untuk melahirkan hukum-hukum tersebut. Artinya, jika
kita mengatakan mazhab Syafi’i, itu artinya adalah, fiqh dan ushul fiqh menurut
Imam Syafi’i.
Lahirnya berbagai madzhab dalam ilmu fiqih
dilatarbelakangi oleh beberapa faktor antara lain disebabkan oleh :
1.
Perbedaan Pemahaman (Pengertian) Tentang
Lafadz Nash
2.
Perbedaan Dalam Masalah Hadits
3.
Perbedaan dalam Pemahaman dan Penggunaan
Qaidah Lughawiyah Nash
4.
Perbedaan Dalam Mentarjihkan Dalil-dalil
yang berlawanan ( ta’rudl al-adillah)
5.
Perbedaan Tentang Qiyas
6.
Perbedaan dalam Penggunaan Dalil-dalil
Hukum
7.
Perbedaan dalam Pemahaman Illat Hukum
8.
Perbedaan dalam Masalah Nasakh.[9]
Bila diruntut ke belakang, mahzab fiqih itu sudah ada
sejak zaman Rosulullah SAW, Madzhab pada zaman Rosululah adalah sebatas
Ijitihad (pendapat) para sahabat dalam memahami agama, karena pada zaman itu
sumber hukum islam adalah hanya al-Quran dan Hadits, sehingga ketika para
sahabat terjadi perselisihan dan berijtihad masing-masing; maka mereka langsung
melaporkan masalah tersebut kepada Rosulullah. Sepeninggal Rasulullah ijtihad
tetap terus berlangsung. Tentu dilakukan oleh orang yang memiliki kompetensi
yaitu mujtahid. Pada puncaknya ada ratusan sahabat dan generasi sesudah yang
layak melakukan ijtihad. Hanya saja kemudian madzhab ini mengerucut, seiring
tingkat kemasyhuran muassis/peletak pondasi madzhab. Karenanya kita mengenal 4
madzhab yang masyhur; Hanafi, Maliki, Syafii dan Hanbali. Ada beberapa mazhab
lain yang terkenal yang muncul pada abad 2 sampai dengan 3 hijriyyah antara
lain Madzhab Atho, Madzhab Ibnu sirin, Madzhab Zhohiriyyah yang di pelopori
Imam Daud az zhohiri, Madzhab As ya’bi, Mazhab Imam an-Nakho’i; akan tetapi
madzhab-madzhab tersebut tidak begitu berkembang seiring berjalannya zaman dari
masa ke masa.
Setelah masa puncak produktvitas berpikir syar’i
melalui ijtihad, umat Islam mengalami kemunduran
berpikir. Hal ini dimulai dari ditutupnya pintu ijtihad sejak akhir abad ke-4
H/10 M. Ulama yang menyerukan ditutupnya pintu ijtihad adalah al Qaffal[10] (327-417
H). Hal ini menyebabkan banyak ulama yang sebenarnya memiliki kemampuan
melakukan ijtihad tidak berani melakukannya, seperti yang dilakukan al Imam
Taqiyuddin as Subki[11] (w. 756
H). Namun hingga awal abad ke-7 H pemikiran umat Islam masih belum mengalami
kemerosotan. Hanya saja, sejak awal abad ke-7 hingga akhir abad ke-13 H, umat
Islam mengalami kemerosotan berpikir yang tajam, meski tetap merepresentasikan
pemikiran Islam. kemerosotan berpikir ini semakin menjadi-jadi saat Islam tidak
lagi diterapkan dalam kancah kehidupan hingga saat ini.[12] Mereka
akhirnya mengadopsi undang-undang produk Barat, khususnya Inggris dan Prancis.
Seperti di Turki sebagai pusat kekuasaan Islam yang mengadopsi UU Hukum Pidaan
Negara Ustmani pada tahun 1857, UU Keuangan dan Perdagangan pada tahun 1859.
Pada tahun 1870 membagi lembaga peradilan menjadi dua yaitu peradilan syariah (mahkamah
syariah) dan pengadilan umum/sipil (mahkamah nizhamiyah).[13] Hingga
saat institusi yang selama ini menjadi penjaga dan pelaksana syariah di-ebolish
oleh Mustafa Kemal atas dukungan Inggris, kaum muslimin tidak memberikan pembelaan yang
optimal.[14]
Kondisi umat Islam saat ini
benar-benar dalam kondisi yang memprihatinkan, yaitu kondisi yang jauh dari
Syariat karena sulitnya memberikan gambaran gambaran pelaksanaan Syariat yang
komprehensif (kaffah).
Tidak
diterapkannya Islam dalam kancah kehidupan menjadi faktor utama kemunduran
berpikir. Umat kehilangan ghirah untuk terikat pada syariat Islam dalam
setiap aktivitasnya. Mereka hanya merasa wajib terikat dengan syariat dalam
bidang yang amat sempit seperti shalat, zakat, puasa, haji, nikah, talak, rujuk,
waris, dsb. Namun cenderung kurang peduli terhadap kewajiban terikat terhadap
aturan Islam dalam bidang politik, ekonomi, hukum, peradilan, sistem sanksi,
politik luar negeri, pendidikan, sosial, budaya dan bidang bidang kehidupan
yang lain.
Kondisi
ini adalah gambaran dari pandangan sekularisme, pandangan hidup dari Barat yang
memisahkan urusan agama dengan urusan kehidupan. Orang-orang yang terpapar
paham sekularisme ini akan mengatakan “jangan campurkan urusan agama dengan
politik, karena agama itu suci sedang politik itu kotor”, “agama tidak tidak
cocok untuk mengurus negara”, dan ungkapan-ungkapan sejenis lainnya. Ruh
sekularisme adalah kebebasan (freedom/hurriyah). Kebebasan ini kemudian
menjalar dalam segala aspek. Kebebasan dalam bidang beragama menjelma menjadi
sinkritisme agama, dalam bidang politik menjelma menjadi kebebasan manusia
untuk membuat hukum dan undang-undang (demokrasi), dalam bidang ekonomi
menjelma menjadi kapitalisme dan ambisi menguasai faktor-faktor ekonomi, di
bidang pendidikan menjadi materialisme (orientasi materi, lembaga pendidikan
dibuat mengikuti kebutuhan pasar), di bidang budaya menjadi paham hedonisme
(serba boleh), dan seterusnya.
Penutup
Berdasarkan
uraian di atas, untuk menjawab tantanan zaman yang bercirikan kemajuan saintek
harus dimulai dari meng-install pemahaman umat tentang perkara yang
paling mendasar yaitu akidah, bahwa manusia adalah hamba Allah, misi utamanya
adalah beribadah kepada Allah, beribadah kepada Allah dalam segala aspek
kehidupannya, tidak sepotong-sepotong seperti pemahaman kalangan sekularis.
Wujudnya adalah keterikatan terhadap hukum-hukum syariat dalam segala bidang.
Cara sederhananya adalah mengetahui status hukum atas setiap perbuatannya.
Sementara
keterikatannya terhadap syariat mewajibkannya untuk belajar kepada yang lebih ‘âlim
dan bagi mujtahid ada kewajiban untuk berijtihad. Seiring dengan semakin
banyaknya persoalan kontemporer maka kebutuhan akan mujtahid juga semakin
banyak. Dengan landasan seperti inilah seorang pengkaji ilmu semestinnya
memiliki visi bahwa ia harus menjadi seorang mujtahid, selain motivasi bahwa
seorang mujtahid akan tetap mendapatkan pahala meski hasil ijtihadnya keliru.
Karena visi yang besar akan mendorong untuk berbuat lebih besar dan lebih
bersemangat. Jadilah kajian-kajian bahasa arab, ulumul quran, ulumul hadis,
tafsir, sirah, tarikh, Ushul Fiqih, Fiqih dan ilmu-ilmu syariah lainnya menjadi kajian-kajian yang menarik
dan menggairahkan karena dikaitkan dengan visi besar untuk membangkitkan umat
dengan metode berpikih ushuli tersebut.
[1] Muhammad
Husain Abdullah. Dirosat fil fikril Islamiy, hal. 9
[2] Al Amidi, al
Ihkam fi Ushul al Ahkam, (Beirut: al Maktbah al Islami, tt) juz IV, hlm.
162
[3] ‘Atha Ibnu
Khalil, Taisir Wushûl ilal Ushûl Dirâsâtun fî Ushûl al Fiqh (Beirut: Dâr
al Ummah, 2000), hal. 290
[4] ‘Atha Ibnu Khalil, Taisir Wushûl ....(Beirut: Dâr al Ummah,
200), hal. 264-265
[5] Abdul Qadim
Zallum, Hukmu al Syar’i fi al Istinsakh, (Beirut: Darul Ummah, 1997),
hal. 5
[6] ibid
[7] M.Husain
Abdullah, Al-Wadhih fi Usul al-Fiqh, (Beirut: Darul Bayariq, 1995),
hal 196
[8] Husain
Abdullah, Al-Wadhih fi Usul al-Fiqh, (Beirut: Darul Bayariq, 1995),
hal 200
[9] Al-Qordhowi,
Yusuf, Fikih Ikhtilaf, ( Kairo : Dar al Fikr al- Islamiy, 1997) hal
65
[10] Nama
lengkapnya adalah Abdullah bin Ahmad bin Abdullah, Abu Bakar. Dikenal sebagai
al Qaffal al –Marwazi, nisbatnya ke Marwa Asy-Syahajan. Profesinya membuat
gembok (Qaffal). Beliau seorang faqih dalam madzhab Syafi’i
[11] Nama
lengkapnya adalah Ali bin Abdul Kafi, Abu Hasan Taqiyuddin as Subki, lahir di
desa Subki Mesir pada tahun 683. Beliau seorang ulama besar madzhab Syafi’i
yang tinggal di Mesir. Beliau wafat tahun 756 H di Mesir
[12] Hafidz
Abdurrahman, Ushul Fiqih; Membangun Paradigma Berfikir Tasyri’, (Bogor: al
Azhar Press, 2003), hlm. 1
[13] Abdul Qadim
Zallum, Konspirasi Barat Meruntuhkan Khilafah Islamiyah (Bangil: al-Izzah,
2001), hal. 36
[14] Ibid, hal.
179-185
Tidak ada komentar:
Posting Komentar