Langsung ke konten utama

SHALAT SAMBIL MEMGGENDONG ANAK KECIL

*BOLEHKAH SHALAT SAMBIL MEMGGENDONG ANAK KECIL?*

Dari Abu Qatadah Al Anshari Radhiallahu ‘Anhu, katanya:

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يُصَلِّي وَهُوَ حَامِلٌ أُمَامَةَ بِنْتَ زَيْنَبَ بِنْتِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَلِأَبِي الْعَاصِ بْنِ رَبِيعَةَ بْنِ عَبْدِ شَمْسٍ فَإِذَا سَجَدَ وَضَعَهَا وَإِذَا قَامَ حَمَلَهَا

Bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dahulu shalat sambil menggendong Umamah -puteri dari Zainab binti Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan Abul ‘Ash bin Rabi’ah bin Abdisysyams- jika Beliau sujud, beliau meletakkan Umamah, dan jika dia bangun dia menggendongnya. (HR. Bukhari No. 516, Muslim No. 543)

Riwayat lainnya:

عَنْ عَمْرِو بْنِ سُلَيْمٍ الزُّرَقِيِّ أَنَّهُ: سَمِعَ أَبَا قَتَادَةَ يَقُولُ: ” إِنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلَّى وأُمَامَةُ ابْنَةُ زَيْنَبَ ابْنَةِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَهِيَ ابْنَةُ أَبِي الْعَاصِ بْنِ الرَّبِيعِ بْنِ عَبْدِ الْعُزَّى عَلَى رَقَبَتِهِ، فَإِذَا رَكَعَ وَضَعَهَا، وَإِذَا قَامَ مِنْ سُجُودِهِ أَخَذَهَا فَأَعَادَهَا عَلَى رَقَبَتِهِ ”

Dari Amru bin Sulaim Az Zuraqiy, bahwa dia mendengar Abu Qatadah berkata:
Bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam sedang shalat sedangkan Umamah –anak puteri dari Zainab puteri Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan juga puteri dari Abu Al ‘Ash bin Ar Rabi’ bin Abdul ‘Uzza – berada di pundaknya. Jika Beliau ruku anak itu diletakkan, dan jika bangun dari sujud diambil lagi dan diletakkan di atas pundaknya. (HR. Ahmad No. 22589, An Nasa’i No. 827, Abdurrazzaq dalam Al Mushannaf No. 7827, dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Shahih wa Dhaif Sunan An Nasa’i No. 827. Syaikh Syu’aib Al Arnauth juga menshahihkannya dalamTahqiq Musnad Ahmad No. 22589, dan Amru bin Sulaim mengatakan bahwa ini terjadi ketika shalat subuh)

Keterangan Amru bin Sulaim ini menganulir pendapat Iman Malik yang membolehkan hanya pada shalat sunah.

Apa Hikmah Nabi Mencontohkan Sholat Sambil Menggendong Anak?

قال الفاكهاني: وكأن السر في حمله صلى الله عليه وسلم أمامة في الصلاة دفعا لما كانت العرب تالفه من كراهة البنات بالفعل قد يكون أقوى من القول.

Berkata Al Fakihani:

“Rahasia dari hal ini adalah sebagai peringatan (sanggahan) bagi bangsa Arab yang biasanya kurang menyukai anak perempuan. Maka Nabi memberikan pelajaran halus kepada mereka supaya kebiasaan itu ditinggalkan, sampai-sampai beliau mencontohkan bagaimana mencintai anak perempuan, sampai-sampai dilakukan di shalatnya. Dan ini lebih kuat pengaruhnya dibanding ucapan.” (Fiqhus Sunah, 1/262)

Riwayat lainnya, Dari Abdullah bin Syadad, dari ayahnya, katanya:

خرج علينا رسول الله صلى الله عليه وسلم في إحدى صلاة العشي (الظهر أو العصر) وهو حامل (حسن أو حسين) فتقدم النبي صلى الله عليه وسلم فوضعه ثم كبر للصلاة فصلى فسجد بين ظهري صلاته سجدة أطالها، قال: إني رفعت رأسي فإذا الصبي على ظهر رسول الله صلى الله عليه وسلم وهو ساجد فرجعت في سجودي.
فلما قضى رسول الله صلى الله عليه وسلم الصلاة قال الناس: يا رسول الله إنك سجدت بين ظهري الصلاة سجدة أطلتها حتى ظننا أنه قد حدث أمر، أو أنه يوحى إليك؟ قال: (كل ذلك لم يكن، ولكن ابني ارتحلني فكرهت أن أعجله حتى يقضي حاجته)

Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam keluar untuk shalat bersama kami untuk shalat siang (zhuhur atau ashar), dan dia sambil menggendong (hasan atau Husein). Lalu Beliau maju ke depan dan anak itu di letakkannya kemudian bertakbir untuk shalat, maka dia shalat, lalu dia sujud dan sujudnya itu lama sekali. Aku angkat kepalaku, kulihat anak itu berada di atas punggung Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, dan beliau sedang sujud, maka saya pun kembali sujud.

Setelah shalat selesai, manusia berkata:
“Wahai Rasulullah, tadi lama sekali Anda sujud, kami menyangka telah terjadi apa-apa, atau barangkali wahyu turun kepadamu?”

Beliau bersabda: “Semua itu tidak terjadi, hanya saja cucuku ini mengendarai punggungku, dan saya tidak mau memutuskannya dengan segera sampai dia puas.”

(HR. An Nasa’i No. 1141, dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Shahih wa Dhaif Sunan An Nasa’i No. 1141)

Berkata Imam An Nawawi Rahimahullah:

هَذَا يَدُلّ لِمَذْهَبِ الشَّافِعِيّ – رَحِمَهُ اللَّه تَعَالَى – وَمَنْ وَافَقَهُ أَنَّهُ يَجُوز حَمْل الصَّبِيّ وَالصَّبِيَّة وَغَيْرهمَا مِنْ الْحَيَوَان الطَّاهِر فِي صَلَاة الْفَرْض وَصَلَاة النَّفْل ، وَيَجُوز ذَلِكَ لِلْإِمَامِ وَالْمَأْمُوم ، وَالْمُنْفَرِد ، وَحَمَلَهُ أَصْحَاب مَالِك – رَضِيَ اللَّه عَنْهُ – عَلَى النَّافِلَة ، وَمَنَعُوا جَوَاز ذَلِكَ فِي الْفَرِيضَة ، وَهَذَا التَّأْوِيل فَاسِد ، لِأَنَّ قَوْله : يَؤُمّ النَّاس صَرِيح أَوْ كَالصَّرِيحِ فِي أَنَّهُ كَانَ فِي الْفَرِيضَة ، وَادَّعَى بَعْض الْمَالِكِيَّة أَنَّهُ مَنْسُوخ ، وَبَعْضهمْ أَنَّهُ خَاصّ بِالنَّبِيِّ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، وَبَعْضهمْ أَنَّهُ كَانَ لِضَرُورَةٍ ، وَكُلّ هَذِهِ الدَّعَاوِي بَاطِلَة وَمَرْدُودَة ، فَإِنَّهُ لَا دَلِيل عَلَيْهَا وَلَا ضَرُورَة إِلَيْهَا ، بَلْ الْحَدِيث صَحِيح صَرِيح فِي جَوَاز ذَلِكَ ، وَلَيْسَ فِيهِ مَا يُخَالِف قَوَاعِد الشَّرْع ؛ لِأَنَّ الْآدَمِيَّ طَاهِر ، وَمَا فِي جَوْفه مِنْ النَّجَاسَة مَعْفُوّ عَنْهُ لِكَوْنِهِ فِي مَعِدَته ، وَثِيَاب الْأَطْفَال وَأَجْسَادهمْ عَلَى الطَّهَارَة ، وَدَلَائِل الشَّرْع مُتَظَاهِرَة عَلَى هَذَا . وَالْأَفْعَال فِي الصَّلَاة لَا تُبْطِلهَا إِذَا قَلَّتْ أَوْ تَفَرَّقَتْ ، وَفَعَلَ النَّبِيّ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – هَذَا – بَيَانًا لِلْجَوَازِ ، وَتَنْبِيهًا بِهِ عَلَى هَذِهِ الْقَوَاعِد الَّتِي ذَكَرْتهَا ، وَهَذَا يَرُدُّ مَا اِدَّعَاهُ الْإِمَام أَبُو سُلَيْمَان الْخَطَّابِيُّ أَنَّ هَذَا الْفِعْل يُشْبِه أَنْ يَكُون مِنْ غَيْر تَعَمُّد ، فَحَمَلَهَا فِي الصَّلَاة لِكَوْنِهَا كَانَتْ تَتَعَلَّق بِهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، فَلَمْ يَدْفَعهَا فَإِذَا قَامَ بَقِيَتْ مَعَهُ ، قَالَ : وَلَا يُتَوَهَّم أَنَّهُ حَمَلَهَا وَوَضَعَهَا مَرَّة بَعْد أُخْرَى عَمْدًا ؛ لِأَنَّهُ عَمَل كَثِير وَيَشْغَل الْقَلْب ، وَإِذَا كَانَتْ الْخَمِيصَة شَغَلَتْهُ فَكَيْف لَا يَشْغَلهُ هَذَا ؟ هَذَا كَلَام الْخَطَّابِيّ – رَحِمَهُ اللَّه تَعَالَى – وَهُوَ بَاطِل ، وَدَعْوَى مُجَرَّدَة ، وَمِمَّا يَرُدّهَا قَوْله فِي صَحِيح مُسْلِم فَإِذَا قَامَ حَمَلَهَا .
وَقَوْله : ( فَإِذَا رَفَعَ مِنْ السُّجُود أَعَادَهَا ) ، وَقَوْله فِي رِوَايَة مُسْلِم : ( خَرَجَ عَلَيْنَا حَامِلًا أُمَامَةَ فَصَلَّى ) فَذَكَرَ الْحَدِيث . وَأَمَّا قَضِيَّة الْخَمِيصَة فَلِأَنَّهَا تَشْغَل الْقَلْب بِلَا فَائِدَة ، وَحَمْل أُمَامَةَ لَا نُسَلِّم أَنَّهُ يَشْغَل الْقَلْب ، وَإِنْ شَغَلَهُ فَيَتَرَتَّب عَلَيْهِ فَوَائِد ، وَبَيَان قَوَاعِد مِمَّا ذَكَرْنَاهُ وَغَيْره ، فَأُحِلّ ذَلِكَ الشَّغْل لِهَذِهِ الْفَوَائِد ، بِخِلَافِ الْخَمِيصَة . فَالصَّوَاب الَّذِي لَا مَعْدِل عَنْهُ : أَنَّ الْحَدِيث كَانَ لِبَيَانِ الْجَوَاز وَالتَّنْبِيه عَلَى هَذِهِ الْفَوَائِد ، فَهُوَ جَائِز لَنَا ، وَشَرْع مُسْتَمِرّ لِلْمُسْلِمِينَ إِلَى يَوْم الدِّين . وَاللَّهُ أَعْلَم .

“Hadits ini menjadi dalil bagi madzhab Syafi’i dan yang sepakat dengannya, bahwa bolehnya shalat sambil menggendong anak kecil, laki-laki atau perempuan, begitu pula yang lainnya seperti hewan yang suci, baik shalat fardhu atau sunah, baik jadi imam atau makmum.

Kalangan Maliki mengatakan bahwa hal itu hanya untuk shalat sunah, tidak dalam shalat fardhu. Pendapat ini tidak bisa diterima, sebab sangat jelas disebutkan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam memimpin orang banyak untuk menjadi imam, peristiwa ini adalah pada shalat fardhu, apalagi jelas disebutkan itu terjadi pada shalat shubuh.

Sebagian kalangan Maliki menganggap hadits ini mansukh (dihapus hukumnya) dan sebagian lagi mengatakan ini adalah kekhususan bagi Nabi saja, dan sebagian lain mengatakan bahwa Beliau melakukannya karena darurat. Semua pendapat ini tidak dapat diterima dan mesti ditolak, sebab tidak ada keterangan adanya nasakh (penghapusan), khusus bagi Nabi atau karena darurat, tetapi justru tegas membolehkannya dan sama sekali tidak menyalahi aturan syara’.

Bukankah Anak Adam atau manusia itu suci, dan apa yang dalam rongga perutnya dimaafkan karena berada dalam perut besar, begitu pula mengenai pakaiannya. Dalil-dalil syara’ menguatkan hal ini, karena perbuatan-perbuatan yang dilakukan ketika itu hanya sedikit atau terputus-putus. Maka, perbuatan Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam itu menjadi keterangan tentang bolehnya berdasarkan norma-norma tersebut.

Dalil ini juga merupakan koreksi atas apa yang dikatakan oleh Imam Al Khathabi bahwa seakan-akan itu terjadi tanpa sengaja, karena anak itu bergelantungan padanya, jadi bukan diangkat oleh Nabi. Namun, bagaimana dengan keterangan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam ketika hendak berdiri yang kedua kalinya, anak itu diambilnya pula.

Bukankah ini perbuatan sengaja dari Beliau? Apalagi terdapat keterangan dalam Shahih Muslim: “Jika Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bangkit dari sujud, maka dinaikkannya anak itu di atas pundaknya.”

Kemudian keterangan Al Khathabi bahwa memikul anak itu mengganggu kekhusyu’an sebagaimana menggunakan sajadah yang bergambar, dikemukakan jawaban bahwa memang hal itu mengganggu dan tidak ada manfaat sama sekali. Akan tetapi beda halnya dengan menggendong anak yang selain mengandung manfaat, juga sengaja dilakukan oleh Nabi untuk menyatakan kebolehannya.

Dengan demikian, jelaslah bahwa yang benar dan tidak dapat disangkal lagi, hadits itu menyatakan hukum boleh, yang tetap berlaku bagi kaum muslimin sampai hari kemudian.” Wallahu A’lam (Imam An Nawawi, Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 2/307. Mawqi’ Ruh Al Islam)

Wallahu A’lam

*Farid Nu'man Hasan*

Komentar

Populer

semanagat KERJANYA

Ibn Khaldun dalam Muqaddimah sudah menulis sebuah hukum sosial yang tragis: "Ketika negara masih kokoh, pajak sedikit namun hasilnya banyak. Tetapi ketika negara lemah, pajak diperbanyak, dan hasilnya justru semakin berkurang. Sebab rakyat tak lagi mampu menanggung beban." Ironinya, teori ini kini terbukti di depan mata. Pajak dinaikkan, subsidi dipangkas, pungutan diperluas, tetapi kesejahteraan rakyat tetap jalan di tempat. Sementara kelas istana justru semakin bugar dengan fasilitas, tunjangan, dan gaya hidup yang tak pernah mengenal kata hemat. Padahal, dalam tradisi fikih, prinsip penarikan pajak harus berlandaskan keadilan (al-‘adl fi at-taklīf). Imam al-Mawardi dalam al-Ahkām as-Sulthāniyyah menegaskan, harta rakyat tidak boleh dipungut kecuali dengan hak yang jelas dan untuk kemaslahatan yang nyata. Sebab itu, ‘Umar bin Khattab RA menolak menambah beban rakyat meskipun kas negara menipis, dengan kalimat yang tegas: "Aku tidak akan mempertemukan mereka...

pengemudi ojol

Innalillahi wa innailaihi rojiun. Affan Kurniawan, pengemudi ojol, tulang punggung 7 anggota keluarganya, wafat setelah dilindas kendaraan taktis Brimob. Hidup sederhana di kontrakan sempit 3x11 meter, tapi semangat juangnya begitu luas: menafkahi orang tua, adik, dan keluarganya. Rasulullah ﷺ bersabda: “Sebaik-baik kalian adalah yang paling baik kepada keluarganya.” (HR. Tirmidzi). Affan sudah mengajarkan arti sabda itu dengan pengorbanannya. Doa terbaik untuk Affan. Semoga Allah lapangkan kuburnya, angkat derajatnya, dan jadikan perjuangannya sebagai cahaya untuk keluarganya.

hanya cemilan

 Ilmu yang kita dapat dari media sosial itu ibarat camilan — mengenyangkan sebentar tapi cepat habis dan tak jarang banyak gizinya hilang. Ilmu dari buku memang lebih baik, tapi seringkali hanya seperti makanan instan — praktis, tetapi tak selalu lengkap nutrisinya. Adapun ilmu yang diambil dari guru yang memiliki sanad keilmuan yang bersambung hingga Rasulullah ﷺ, itulah makanan pokok yang benar-benar menghidupi hati dan akal. Imam Malik رحمه الله pernah berkata: "إن هذا العلم دين فانظروا عمن تأخذون دينكم" "Sesungguhnya ilmu ini adalah agama, maka lihatlah dari siapa kalian mengambil agama kalian." Belajar langsung kepada guru bukan hanya soal mendapatkan materi pelajaran, tapi juga warisan adab, pemahaman kontekstual, dan keberkahan sanad. Rasulullah ﷺ bersabda: "إنما العلم بالتعلم" (رواه البخاري في الأدب المفرد) "Sesungguhnya ilmu itu hanya didapat dengan belajar (secara langsung)." Ilmu yang bergizi adalah yang memberi kekuatan im...

𝐊𝐄𝐓𝐀𝐌𝐏𝐀𝐍𝐀𝐍 𝐁𝐀𝐆𝐈𝐍𝐃𝐀 𝐍𝐀𝐁𝐈 ﷺ

Kesempurnaan serta ketampanan wajah Sayyiduna Muhammad ﷺ diperincikan oleh para Sahabat رضوان الله عليهم أجمعين dengan pelbagai sifat yang menunjukkan keagungan Baginda ﷺ. Mengagumkan setiap mata yang melihat, tidak mengira jantina,umur, mahupun kawan ataupun musuh. Kata Sayyiduna Ali Bin Abi Talib r.a: “Sesiapa yang melihat Baginda (buat kali pertama) pasti akan tertunduk kerana kehebatan Baginda ﷺ, sedangkan sesiapa yang telah terbiasa bergaul dengan Baginda akan jatuh cinta.” (HR Tirmidzi) اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ

Berikut contoh naskah pembawa acara (MC) untuk acara Tasmiyah (Aqiqah dan Pemberian Nama Bayi) dengan susunan yang umum digunakan:

MC: Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh. Alhamdulillahi rabbil ‘alamin, washalatu wasalamu ‘ala asyrafil anbiya-i wal mursalin, wa ‘ala alihi wa ashabihi ajma’in. Amma ba’du. Yang terhormat para alim ulama, tokoh masyarakat, serta seluruh tamu undangan yang dirahmati Allah. Pertama-tama, marilah kita panjatkan puji dan syukur ke hadirat Allah Subhanahu wa Ta’ala, yang telah memberikan nikmat dan hidayah-Nya sehingga kita dapat berkumpul dalam acara Tasmiyah (Aqiqah dan Pemberian Nama Bayi) dalam keadaan sehat wal afiat. Salawat serta salam semoga senantiasa tercurah kepada junjungan kita, Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam, beserta keluarga, sahabat, dan kita sebagai umatnya hingga akhir zaman. Hadirin yang berbahagia, Sebelum kita memulai acara, izinkan saya membacakan susunan acara pada hari ini: 1. Pembukaan 2. Pembacaan Ayat Suci Al-Qur'an 3. Kata Sambutan dari Tuan Rumah 4. Ceramah Singkat tentang Aqiqah dan Pemberian Nama 5. Pembacaan Doa 6. Makan Bersama 7. P...

Dakwah Mauidzah al-hasanah (nasihat yang baik)

  Nasihat yang baik maksudnya adalah memberikan nasehat kepada orang lain dengan cara yang baik, berupa petunjuk-petunjuk ke arah kebaikan dengan huhasa yang baik yang dapat mengubah hati, agar nasehat tersebut dapat diterima, berkenan di hati, enak didengar, menyentuh perasaan, lurus di pikiran, mnghindari sikap kasar dan tidak boleh mencaci/menyebut kesalahan madu, tehingga mereka dengan rela hati dan atas kesadarannya dapat mengikuti ajaran yang disampaikan oleh pihak subyek dakwah. Imam Syaukani dikutip oleh Ali Musthafa Yakub menyatakan bahwa Mauidzah al-hasanah adalah ucapan yang berisi nasehat yang baik mendengarkannya, atau argumen-argumen yang memuaskan sehingga dapat membenarkan apa yang di sampaikan. dalam segala aspeknya.  Sikap lemah lembut (pengaruh) memghindari sikap egoisme adalah warna yang tidak terpisahkan dalam cara seseorang yang melancarkan ide-idenya untuk menggerakkan orang lain secara persuasif dan bahkan koersive(memaksa).  Caranya dengan memenga...

CONTOH UNDANGAN SHALAT JENAZAH

_*UNDANGAN SHALAT JENAZAH *===========================* *إِنَّا لِلَّهِ وَإِنَّا إِلَِـــــــــــيْهِ رَاجِـــــــــــعُون* *_TELAH MENINGGAL DUNIA SEORANG PEREMPUAN :_* *NAMA : .................* *UMUR : ...................*  *ALAMAT : ................)*  *KELUARGA : ..............* *MENINGGAL DUNIA : KAMIS, 13 RABIUL AWAL 1445 H / 28 SEPTEMBER 2023 M. JAM : 03.00 WITA.* *DI SHALATKAN PADA : KAMIS, 13 RABIUL AWAL 1445 H / 28 SEPTEMBER 2023 M.*  *WAKTU : BA'DA SHALAT MAGRIB.* *TEMPAT : RUANG INDUK MASJID * *DIMAKAMKAN : ALKAH KELUARGA, * *ATAS NAMA KELUARGA MENGUCAPKAN TERIMA KASIH IKUT MENSHALATKAN JENAZAH, MOHON MAAF ATAS KESALAHAN SEMASA HIDUP DAN BILA ADA TERKAIT HUTANG PIUTANG SEGERA HUBUNGI PIHAK KELUARGA* *اللهم اغفر لها، وارحمها وعافها، واعف عنها، ووسع مدخلها، واغسلها بالماء والثلج والبرد، ونقها من الخطايا كما ينقى الثوب الأبيض من الدنس، وأبدلها دارا خيرا من دارها، وأهلا خيرا من أهلها، وأدخلها الجنة، وقها فتنة القبر وعذاب النار* *جزا كم الله خيرا*