Jumat, 20 April 2018

Pengertian Syukur

Menurut Syekh Abdul Qadir Al-Jailani, dalam pandangan ahli hakikat, syukur adalah mengakui nikmat yang diberikan oleh Sang Pemberi nikmat secara khusus. Allah menyebut diri-Nya sebagai “Yang Maha Mensyukuri” (Asy-Syakur) dalam arti yang meluas. Maksudnya, Dia akan membalas para hamba atas syukur mereka.

  Ada pula ahli hakikat yang mengatakan bahwa hakikat syukur adalah memuji orang yang telah berbaik hati memberi (al-muhsin) dengan mengingat-ingat kebaikannya. Syukur hamba kepada Allah berarti memuji-Nya dengan mengingat-ingat kebaikan yang Dia berikan. Sedangkan syukur Allah kepada para hamba adalah pujian-Nya atas si hamba dengan menyebut (menyanjung) kebaikannya.

  Syukur dapat dibagi menjadi beberapa macam :

1. Syukur dengan lisan, yakni mengakui nikmat yang diberikan dengan aktualisasi ketundukan.

2. Syukur dengan anggota tubuh, yakni aktualisasi dengan komitmen pemenuhan hak dan kewajiban, serta pengabdian.

3. Syukur dengan hati, yakni bersimpuh di atas permadani syuhud (penyaksian Allah) dengan mengekalkan penjagaan kesucian (kehormatan).

  Sebagai contoh, bentuk syukur mata adalah dengan menutupi aib yang engkau lihat pada diri temanmu. Syukur telinga adalah menutupi aib yang kau dengar darinya. Syukur orang yang alim terwujud dalam keseluruhan ucapannya. Syukur ahli ibadah terwujud dalam perbuatannya. Syukur kaum ahli makrifat terwujud dengan sikap istikamah mereka di jalan Allah dalam banyak keadaan (ahwal) mereka. Keyakinan mereka bahwa semua kebaikan yang mereka jalani, dan ketaatan, penghambaan, serta dzikir yang mereka jalankan, semuanya berkat taufik, nikmat, pertolongan, dan daya upaya Allah. Pengakuan tentang kelemahan, kehinaan, kebodohan, kemiskinan dan kefakiran mereka di depan Allah juga merupan bentuk syukur para ahli makrifat.

  Abu Bakar Al-Warraq juga mengatakan, “Mensyukuri nikmat berarti menyaksikan anugerah dan menjaga kesuciannya.”

_Kitab Mawa’izh_ al-Syekh Abdul Qadir Al-Jailani.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar